Jumat, 14 September 2012

Masyarakat Paniai Dibawa Bayang-Bayang Kekuatiran Dan TNI-POLRI Kejar Jhon Yogi


Paniai - Situasi masyarakat Paniai terutama kota Enarotali, Madi (ibu kota Kabupaten Paniai) dan sekitarnya yang dialami akhir-akhir ini merupakan akibat dari rangkaian aksi yang terjadi belakangan ini. Penembakan yang menewaskan seorang anggota polisi ini merupakan peristiwa yang ke-empat yang terjadi dalam bulan agustus ini.



ANAK SD YANG DI TEMBAK OLEH POLISI DIPANIAI
Peristiwa pertama; Penggeledahan di rumah pribadi Bpk Irenius Adii (Kepala Badan Keuangan Pemda Paniai) di kampung Udaugida, distrik Tigi Timur – Deiyai pada kamis, 09 agustus 2012 oleh sekelompok orang tak dikenal (OTK) dengan mengendarai kendaraan bermotor. Para pelaku yang bertopeng tersebut menodong keluarga dalam rumah dengan pistol, lalu mengumpulkan pengalas lantai “tikar” dan membakarnya. Akibatnya, keluarga yang sedang duduk dalam rumah menjerit ketakutan dan semua yang dialas dilantai hangus terbakar.



Peristiwa kedua; Pada kamis, 16 agustus 2012, pukul 19.00 wit terjadi penembakan di Obano, distrik Paniai Barat oleh orang tak dikenal (OTK) yang menewaskan seorang pedagang (Mustafa, 22 thn) dan 2 orang lainnya (Ahyar, 25 thn dan Basri, 22 thn) luka-luka. Akibatnya para pedagang non pribumi merasa tidak nyaman dan masyarakat Obano pada umumnya resah.

Peristiwa ketiga; Pembacokan 4 orang karyawan PT Dewa yang ber-camp di Gedeitaka Watiyai, distrik Tigi Timur - Deiyai oleh orang tak dikenal (OTK) pada minggu, 19 agustus 2012 malam. Akibatnya 2 orang karyawan langsung mati ditempat (Selsius Mamahi, 30 thn dan Henokh, 33 thn) dan 2 orang lainnya (Simson Atto, 37 thn dan Youke Patee, 38 thn) luka-luka. Perbuatan tidak manusiawi ini menyebabkan keresahan bagi masyarakat dibeberapa kampung disekitarnya.

Peristiwa keempat; Penembakan di Ujung Bandara Enarotali oleh orang tak dikenal (OTK) pada Selasa, 21 agustus 2012 lalu yang menewaskan Brigadir Polisi Yohan Kisiwaitoi, anggota Polres Paniai. Akhirnya aparat keamanan menembak puluhan peluru sebagai bentuk pelampiasan emosi mereka dan melakukan tindak sewenang-wenang yang bersasaran pada masyarakat sipil. Masyarakat semakin takut dan terpaksa melarikan diri ke rumah masing-masing dan para pedagangpun segera menutup kiosnya masing-masing.

Rangkaian peristiwa yang berpuncak pada tewasnya seorang anggota polisi tersebut menyebabkan macetnya seluruh aktivitas masyarakat di Kota Enarotali, Madi dan sekitarnya. Kantor-kantor di Madi (ibu kota kabupaten Paniai) dan Kota Enarotali tutup. Proses belajar mengajar di sekolah-sekolah macet “tidak berjalan”. Kendaraan umum baik taksi maupun ojek termasuk kendaraan pribadi dan dinas dari kota Enarotali ke semua jalur macet total. Sementara itu, pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Paniai pun tidak berjalan akibat para perawat dan pasien-pasien dipulangkan dengan paksa oleh aparat keamanan. Selain itu, masyarakat tidak bisa bepergian ke kebun. Mencari kayu bakar di hutan dan mencari ikan di danau dan kali bukan juga menjadi kebutuhan. Singkatnya masyarakat takut beraktivitas diluar rumah apalagi suasana ini terus diwarnai dengan bunyi-bunyi tembakan. Dalam suasana ini, masyarakat memilih lebih baik tinggal diam dalam rumah. Inilah situasi yang tercipta yang dialami oleh semua masyarakat di kota Enarotali, Madi (ibu kota Kabupaten Paniai) dan sekitarnya di Paniai.

Terciptanya situasi ini menyebabkan lumpuhnya seluruh aktivitas masyarakat dan pelayanan publik. Peristiwa keempat tersebut telah mengakibatkan korban materi, korban fisik maupun psikologis. Misalnya 3 rumah dibakar, 1 rumah dirusak, 7 speed boat dirusak dan 1 buah sepeda motor. 

Sementara itu, 3 warga diantaranya orang gila yang tidak ada kaitan dengan peristiwa yang terjadi ditangkap dan dipukul polisi lalu dilepaskan. Selain itu, 19 warga ditangkap dijalan raya dan di rumah mereka masing-masing ketika mereka sedang duduk bersama keluarganya. Diantaranya ada beberapa yang hanya diperiksa lalu dibebaskan, tetapi adapula yang dipukul hingga dibebaskan dalam kondisi muka penuh luka berlumur darah. Hal ini bukan hanya bersasaran pada orang-orang yang dicurigai, tetapi juga dialami oleh warga masyarakat yang tidak tahu menahu dengan persoalan tersebut termasuk orang gila, beberapa orang yang berstatus pegawai negeri sipil yang bekerja di Pemda Paniai.

Situasi yang tercipta ini sungguh-sungguh sangat menarik perhatian semua pihak terutama bagi yang peduli dengan soal-soal kemanusiaan. Oleh karena itulah, kiranya kita perlu kritisi bersama atas situasi ini. Pertama; siapa atau kelompok mana sebenarnya yang sedang bermain dibalik semua aksi di Paniai? Apakah benar kelompoknya Jhon Yogi, cs yang melakukan serangkaian aksi di Paniai sebagaimana yang dimuat dibeberapa media nasional? Barangkali disini perlu ada pembuktian berdasarkan fakta dilapangan yakni keterangan dari saksi mata dan olah TKP yang biasanya yang dilakukan oleh aparat keamanan (polisi) apalagi peristiwa keempat ini persis terjadi ditengah kota dan terjadi ditempat ramai, yakni di pelabuhan danau yang biasanya orang selalu ada. Juga peristiwa tersebut terjadi pada pagi hari (pukul 09.30 wit). Kedua; apa persoalan utamanya sehingga orang “pelaku” memilih mengambil tindakan tersebut sekalipun mengorbankan nyawa orang lain? Apakah persoalan yang berkaitan dengan keinginan merdeka? Apakah persoalan karena belum adanya lahan bisnis? Apakah persoalan ingin balas dendam menjelang peringatan 17 agustus? Ataukah karena persoalan hak ulayat? Ketiga; dengan siapakah persoalan tersebut dipermasalahkan? Siapakah sasaran sebenarnya dalam persoalan tersebut? Namun, dalam konflik antara aparat keamanan dengan TPN-OPM biasanya yang menjadi sasaran korban ialah masyarakat sipil atau orang-orang yang sebenarnya tidak tahu menahu dengan persoalan. Benarkah merekalah yang hendaknya menjadi sasaran utama dalam persoalan demikian? Disini kiranya orang harus membedakan siapa kawan dan siapa lawan dalam persoalan. Lantas, keempat; apakah orang entah siapapun dan darimanapun baik atas nama pribadi maupun kelompok haruskah mengedepankan kekerasan sebagai pendekatan yang terbaik dalam menghadapi persoalan? Apakah tidak ada jalan lain selain menempuh dengan jalan kekerasan? Namun, dalam situasi demikian dimana muncul konflik antara aparat keamanan dengan TPN OPM biasanya yang menjadi korban ialah masyarakat sipil atau orang-orang yang sebenarnya tidak tahu menahu dengan persoalan.

Bertitik tolak dari situasi yang tercipta pasca penembakan pada selasa 21 agustus 2012 tersebut, kamipun kiranya menggaris bawahi pengalaman penderitaan masyarakat Paniai yang dialami bertahun-tahun hingga kini. Bahwa masyarakat Paniai masih terus hidup dalam situasi tak menentu sejak daerah ini dianggap daerah operasi militer (DOM) hingga tahun 2002. Selama itu, masyarakat Paniai sungguh sangat menderita selama aparat keamanan beroperasi dengan dalil mengejar alm Bpk Tadius Yogi cs selaku Pimpinan TPN OPM Paniai. Demikian pula, peristiwa penyerangan markas TPN-OPM di Eduda oleh Densus 88 pada oktober 2011 lalu yang menyebabkan masyarakat terpaksa mengungsi besar-besaran selama berbulan-bulan meninggalkan kampung halaman. Akibatnya tidak sedikit korban materi milik masyarakat dan nyawa manusia menjadi korban sesaat. 

Dalam suasana ketakutan warga akan adanya penyerangan balik oleh TPN-OPM terhadap TNI/POLRI masih menjadi kekuatiran masyarakat tersebut, kini masyarakat dikagetkan dengan rangkaian aksi. Rangkaian aksi yang terjadi belakangan ini menyadarkan masyarakat akan ingatan peristiwa masa lalu. Akhirnya suasana hati dan pikiran masyarakat kembali diwarnai dengan kekuatiran dan ketakutan. Orang merasa tidak bebas beraktivitas ketika mendengar informasi akan adanya penambahan pasukan di Paniai. Masyarakat cemas ketika mendengar aparat keamanan akan mengambil langkah untuk mengejar kelompoknya Jhon Yogi, cs. Lantaran, apakah yang akan terjadi jikalau pasukan bergerak mengejar kelompok Jhon Yogi, cs? Ini selalu menjadi pergumulan masyarakat di Paniai dalam benak pikirannya.

Menyadari akan pengalaman hidup masyarakat Paniai selama ini yang membuat masyarakat terus hidup dalam rasa tauma dengan peristiwa masa lalu. Demikian pula, situasi yang tercipta ditengah masyarakat Paniai saat ini yang masih diwarnai dengan keresahan, maka beberapa hal perlu disimak bagi semua pihak terutama para pengambil kebijakan di negara Republik Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia termasuk kita di Tanah Papua.

Pertama; Masyarakat Paniai pada umumnya hingga kini masih trauma dengan pengalaman masa lalu dan rangkaian aksi akhir-akhir ini justru membuat masyarakat bertambah panik dan takut beraktivitas bebas. Oleh karena itu, penambahan pasukan di Paniai sebagaimana yang diungkapkan Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Polisi Johannes Nugroho Wicaksono, pada kamis (23/8/2012) sebaiknya ditinjau kembali. Hal ini disebabkan karena kehadiran pasukan di Paniai justru akan menimbulkan ketakutan warga masyarakat apalagi kehadiran pendatang (kaum laki-laki) tanpa pekerjaan yang jelas di Paniai seringkali muncul image negatif “curiga” dari masyarakat pribumi terhadap mereka.

Kedua; Pengejaran terhadap kelompoknya Jhon Yogi, cs sebagaimana yang diungkapkan Menkopolhukam, Djoko Suyanto pada kamis (23/8/2012) di Jakarta hendaknya perlu diklarifikasi terlebih dahulu; siapa yang menjadi sasaran utama dalam pengejaran dimaksud. Hal ini kami katakan demikian karena pengalaman membuktikan bahwa aparat keamanan biasanya tidak membedakan siapa sebenarnya yang menjadi sasaran dan dimana sasaran utama keberadaan orang yang dikejar. Akibatnya masyarakat sipil yang sedang beraktivitaslah yang menjadi korban. Aparat keamanan (polisi) hendaknya menjadikan praduga tak bersalah menjadi perhatian utama dalam situasi demikian dan tidak menggunakan kekerasan. Hal ini penting agar warga masyarakat yang tak bersalah atau yang tidak ada kaitan dengan persoalan, tidak terus menjadi korban.

Ketiga; Korban kekerasan selama ini baik korban jiwa, korban penganiayaan, korban materi berupa apa saja akibat perbuatan orang-orang yang tidak bertanggungjawab belakangan ini sungguh sangat disesalkan, karena tidak seorangpun diberi kewenangan untuk mencabut nyawa atau mengambil hak milik orang lain. Perbuatan ini merupakan tindakan kejahatan yang semestinya diberantas atau dihilangkan semua pihak. Di era demokrasi ini, orang harus meninggalkan kekerasan karena tidak ada satu pasal atau satu ayat pun dalam aturan atau hukum di negara kita yang mewajibkan seseorang melakukan kekerasan terhadap sesama manusia, kecuali dengan kehendak bebas seseorang memilih bertindak secara kekerasan, alias melanggar aturan dan hukum. Disini orang harus kembali pada aturan dan hukum negara maupun agama. Pelaku kekerasan harus banting stir untuk kembali pada jalur untuk memanusiawikan diri sebagai manusia.

Keempat; Kekerasan bukanlah cara menyelesaikan masalah, tetapi justru akan menambah persoalan baru. Ini hendaknya menjadi prinsip utama dalam hidup berbangsa dan bernegara agar kita terus membina masyarakat yang demokratis. Oleh karena itu, pendekatan represif baik oleh TNI/POLRI maupun TPN OPM haruslah dihentikan di Paniai dan Tanah Papua pada umumnya. Semua persoalan baik pribadi maupun kelompok harus diselesaikan dengan mengedepankan pendekatan persuasif. Bukankah negara kita ialah negara demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia demi mewujudkan perdamaian dunia? Disini tidak hanya dibutuhkan peran militer tetapi juga dibutuhkan peran pemerintah. Pemerintah hendaknya pro aktif dalam melihat dan menangani semua persoalan-persoalan yang mengarah pada jatuhnya korban warga masyarakat. Dengan demikian, sebaiknya semua persoalan di Papua termasuk persoalan yang muncul di Paniai akhir-akhir ini harus diselesaikan melalui komunikasi yang bermartabat atau dialog. Dalam hal ini, kiranya dibutuhkan fasilitator yang memfasilitasi kedua belah pihak untuk mengungkapkan dan menyelesaikan persoalan melalui dialog yang bermartabat. Ini merupakan kebutuhan utama di negara kita agar segala persoalan dapat kita menyelesaikannya secara demokratis dengan sikap saling menghargai sebagai makhluk bermartabat. Semoga kebiadaban menjadi musuh bersama dimasa keadaban kini.(BNW)

SUMBER FACEBOK.COM

Senin, 10 September 2012

Inilah Ringkasan Kontras Sidang UPR PBB untuk Kondisi HAM Indonesia



 
Sidang UPR PBB (foto kontras)
KontraS mengapresiasi negara-negara yang secara aktif memberikan pertanyaan dan rekomendasi perbaikan kondisi HAM di Indonesia lewat sidang Universal Periodical Review (UPR) 2nd Cycle di Jenewa pada 23 Mei 2012. Namun seperti yang sudah diduga, Sesi UPR II ini masih dipenuhi jawaban-jawaban yang sama dari Pemerintah Indonesia pada Sidang UPR I tahun 2008. Itu artinya tidak ada perubahan situasi penegakan HAM di Indonesia. Mengingat kasus-kasus intoleransi, impunitas dan kekerasan terhadap pembela HAM (termasuk di Papua) masih menjadi problem-problem dominan yang belum diselesaikan.


Lewat sidan UPR terlihat jelas bahwa komunitas internasional memahami stagnasi penegakan HAM di Indonesia. Mereka mampu menggarisbawahi isu-isu HAM aktual di Indonesia. Terbukti dari pertanyaan-pertanyaan dan rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan kepada Delegasi Indonesia.

KontraS mencatat sepanjang 3 jam sidang berlangsung dan 3 kali sesi tanya jawab, secara umum Dewan HAM PBB mengapresiasi modalitas institutional HAM yang dimiliki Indonesia (seperti adanya aturan dan lembaga terkait penegakan HAM) dan stabilnya transisi demokratisasi.

 Terdapat sejumlah isu yang menjadi perhatian sejumlalh negara. Yang paling banyak dijadikan pertanyaan adalah kondisi perempuan dan anak, isu pendidikan, isu kesehatan, keberagaman dan intolerensi, reformasi hukum (Perubahan KUHP, Sistem Peradilan Militer dan ratifikasi sejumlah aturan internasional seperti Statuta Roma soal Pengadilan kriminal Indonesia, Aturan Tambahan soal anti penyiksaan dan konvensi Pencegahan Penghilangan Orang Secara Paksa). Sementara sejumlah isu lainnya mendapat perhatian dari sejumlah negara seperti mekanisme HAM regional di ASEAN, impunitas terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat seperti kasus-kasus dimasa lalu, kondisi perlindungan pembela HAM, reformasi sektor keamanan dan situasi Papua.

KontraS memberikan catatan khusus atas sejumlah hal dibawah ini, yang kami anggap cukup seharusnya mendapatkan perhatian, pertama, terkait masalah kebebasan beragama dan intoleransi yang berujung pada kekerasan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menlu Marty disidang UPR menegaskan bahwa Indonesia menjunjung tinggi kebebasan beragama dan berkeyakinan. 

Negara tidak akan campur tangan untuk urusan keyakinan dan agama warganya. Prinsip ini juga berlaku pula untuk masalah Ahmadiyah dan minoritas agama/keyakinan lainnya di Indonesia. Konstitusi dan penegakan hukum menjadi alat yang akan digunakan dalam menjamin perlindungan ini. Faktanya, sampai sejauh ini, praktik intoleransi semakin merajalela di Indonesia dan komunitas internasional bisa menangkap gejala tersebut. Situasi Ini menunjukkan bahwa klaim Indonesia sebagai negeri yang plural dan toleran sudah tidak menjadi citra yang bisa diandalkan di muka dunia.
Kedua, ketiadaan akuntabilitas terhadap pelanggaran HAM serius seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, penyiksaan, atau penghilangan paksa. Perwakilan negara-negara di sidang UPR juga terus mempertanyakan posisi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang Berat di masa lalu. Termasuk wacana tentang Permintaan Maaf Resmi Indonesia yang sedianya akan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada korban pelanggaran HAM dalam waktu dekat. Menlu Marty Natalegawa tidak memberikan respons atas pertanyaan dan wacana tersebut.

Para delegasi sidang UPR juga terus mempertanyakan lambannya proses revisi UU KUHP, termasuk tentang penjelasan definisi tindak penyiksaan. Apalagi forum klarifikasi ini juga masih banyak mempertanyakan maraknya tindak penyiksaan yang dilakukan aktor-aktor keamanan (khususnya TNI dan Polri). Dalam rekomendasinya, dorongan untuk segera meratifikasi OPCAT juga menjadi tuntutan komunitas internasional.
Ketiga, masalah Papua terus dibahas bukan dalam kerangka masalah politik, tetapi lebih pada eskalasi kekerasan yang terus berlangsung. Termasuk pada aspek akuntabilitas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan, seperti militer misalnya. Para delegasi juga banyak bertanya seputar perkembangan reformasi sektor keamanan. Menjawab problem Papua, 
Menlu Marty kerap berdalih bahwa sepanjang pengetahuannya Papua saat ini dalam kondisi stabil. Pemerintah Indonesia juga telah memiliki skema pembangunan di bawah kebijakan otonomi khusus yang diterapkan di Aceh dan Papua. Menlu Marty juga menambahkan keberadaan Polisi dan TNI di Papua dan Aceh tidak menyalahi prosedur, karena merupakan bagian dari mekanisme law and order. 

Keempat, ada sedikit perkembangan positif yang ditegaskan oleh Pemerintah RI, seperti rencana ratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional penting: Statuta Roma dan Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Menlu Marty menerangkan bahwa untuk ratifikasi instrumen HAM harus ditentukan jadwal pengesahannya. 
Selain itu Pemerintah RI juga telah mengundang beberapa Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Kesehatan, Perumahan yang Layak, dan Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat. Sayangnya, dengan mingingat begitu tingginya angka kekerasan atas nama agama dan kepercayaan, pemerintah Marty tidak menegaskan rencana untuk mengundang pelapor khusus PBB untuk isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Padahal agenda tersebut telah dilayangkan sejak tahun 1996. Namun hingga belum ada tindak lanjut dari Pemerintah RI.

Dari keseluruhan tema situasi HAM dalam sidang delegasi UPR Indonesia hari ini, KontraS melihat banyaknya dukungan, apresiasi, masukan positif untuk Indonesia atas proses pembangunan institusional dan perbaikan kondisi di bidang HAM. Akan tetapi KontraS masih belum melihat adanya jawaban yang baru dari pemerintahan Indonesia yang bisa menunjukan inisiatif penuntasan kasus-kasus kekerasan, termasuk belum ada perhatian detail pada penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Sebagai organisasi HAM yang turut memantau kemajuan HAM Indonesia, KontraS akan terus mendesak janji-janji politik HAM Pemerintah RI untuk dipenuhi dengan tolak ukur menurunnya kekerasan dan negara makin akuntabel. Kami menganggap bahwa janji-janji yang disampaikan oleh Marty Natalaegawa harus ditunaikan oleh Pemerintah Indonesia. Termasuk dengan melibatkan peran masyarakat sipil dan komunitas internasional.

Jakarta, 23 Mei 2012

Badan Pekerja KontraS

Haris Azhar
Koordinato
r

Sabtu, 08 September 2012

Pesan Profetis Gereja-Gereja se-Tanah Papua


Pimpinan Gereja-Gereja Di Tanah Papua
Menangani Bayi Nasionalisme (Separatisme) Papua Sebagai Hasil “Perkawinan Paksa” Jakarta - Papua
Jakarta Sebagai Penabur dan Pengguna Benih Separatisme Papua
(Pesan Profetis Gereja-Gereja se-Tanah Papua)
Yawan Wayeni, dibunuh tanggal 13 Agustus 2009
Oleh Imam Setiawan (mantan Kapolres Yapen), kini Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Papua

16 Desember 2011


Ya Allah, berikanlah hukumMu kepada raja dan keadilanMu kepada putera raja. Kiranya ia mengadili umatMu dengan keadilan dan orang-orangMu yang tertindas dengan hukum. Kiranya gunung-gunung membawa damai sejahtera bagi bangsa dan bukit-bukit membawa kebenaran. Kiranya ia memberi keadilan kepada orang-orang yang tertindas dari bangsa itu, menolong orang-orang miskin tetapi meremukkan pemeras-pemeras (Mazmur 72: 1-4)
Pertama-tama, kami menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang telah membuka diri dan memberi waktu kepada kami di tengah-tengah padatnya kesibukan negara dalam menghadapi berbagai permasalahan Nasional lainnya.
Kedatangan kami ini difasilitasi oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia karena beberapa peristiwa historis yang penting di masa lalu, pertama, pernyataan Domine F.J.S Rumainum dalam Sidang Raya ke-3 Dewan Gereja se-Dunia pada Juli 1961 di New Delhi, India bahwa Gereja Kristen Injili di Papua adalah bersama dengan Dewan Gereja Indonesia. Pernyataan ini terjadi lima bulan sebelum Trikora, 19 Desember 1961. Kedua, laporan dari Tim Oikumenis Dewan Gereja se-Dunia dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia kepada Presiden B.J. Habibie pada tanggal 25 September 1998 bahwa rakyat Papua ingin berdaulat sebagai negara. Ketiga, Sidang Raya PGI ke-15 di Mamasa, Sulawesi Tengah 2009 mengeluarkan 11 rekomendasi tentang Papua, antara lain: perlunya penegakkan hukum dan HAM di Papua, penghapusan stigma separatisme, dorongan untuk diadakannya dialog nasional Papua-Jakarta sebagai mekanisme demokratis penyelesaian masalah Papua.
Dengan ketiga peristiwa ini, maka kehadiran empat Pimpinan Gereja yang mewakili 2/3 penduduk asli Papua menyatakan bahwa penyelesaian masalah Papua harus melibatkan peranan Gereja-Gereja di Papua maupun di Indonesia.
1. Alasan Kehadiran Pimpinan Gereja: Akar Persoalan Konflik dan Kekerasan di Tanah Papua
Berangkat dari ajaran Kitab Suci (Mazmur 72:1-4) yang dikutib di atas dan peran PGI tadi, kami ingin menyampaikan kepada Bapak bahwa kami sebagai Pimpinan Gereja Papua hadir di sini karena: kekerasan yang terus terjadi terkait bangkitnya Nasionalisme Papua (pemerintah menyebutnya sebagai “separatisme”). Kami, pimpinan Gereja Papua memandang lahirnya ‘bayi Nasionalisme’ (separatisme) Papua ini sebagai hasil ‘Perkawinan Paksa’ Jakarta – Papua yang proses sejarahnya tercatat sebagai berikut:
· 19 Desember 1961, Soekarno yang secara sepihak menguburkan embrio satu negara Papua Barat yang ditetapkan pada 1 Desember 1961 dengan mengumandangkan Trikora. Komite Nasional Papua, telah mempersiapkan terbentuknya Negara Papua dengan menetapkan simbol-simbol negara yaitu, (a) Bendera Kebangsaan Papua, Bintang Fajar, (b) Lagu Kebangsaan Papua, Hai Tanahku Papua, dan (c) Lambang Negara adalah Burung Mambruk;
· 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda (tanpa keterlibatan wakil rakyat Papua) menandatangani Perjanjian New York;
· 1 Oktober 1962, Pemerintah Belanda menyerahkan administrasi pemerintahan kepada UNTEA;
· 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan administrasi pemerintahan ke RI tanpa keterlibatan rakyat Papua;
· Juli-Agustus 1969, Pemerintah merekayasa PEPERA (Act of Free Choice menjadi Act of No Choice) untuk mengintegrasikan Papua ke Indonesia.
· Kami mencatat hasil-hasil dari Kongres Rakyat Papua ke-3 pada 19 Oktober 2011 yang telah mereafirmasi gerakan pembebasan rakyat Papua melalui peristiwa 1 Desember 1961 dan kelanjutannya pada Kongres Rakyat Papua I, Musyawarah Besar Rakyat Papua dan Kongres Rakyat Papua II tentang lahirnya PDP dan Panel-Panel sebagai bentuk-bentuk ekspresi dari sebuah gerekan pembebasan rakyat Papua dari semua bentuk-bentuk kekerasan yang mengarah pada suatu bentuk penjajahan sistematis.
Kami menilai peristiwa sejarah yang tidak memperhitungkan/melibatkan rakyat Papua ini sebagai akar masalah Papua (kekerasan: historis) yang melandasi konflik di Tanah Papua yang terus terjadi sampai dewasa ini.
2. Wajah Kekerasan Pemerintah Orde Baru 1969 -1998
Setelah (kekerasan) Act of Free Choice tahun 1969 yang direkayasa, pemerintah melaksanakan pembangunan di Papua yang dalam kenyataan, diterima oleh umat kami sebagai kekerasan multi wajah seperti berikut:
Pembangunan bias pendatang (yang kami menilai sebagai kekerasan ideologis) yang berakibat marginalisasi terhadap penduduk asli Papua, karena dalam kerangka demikian eksistensi, identitas dan masa depan rakyat Papua tidak diperhitungkan; semua yang dikerjakan di Papua adalah untuk kepentingan NKRI seperti di bawah ini:
· Operasi-operasi militer sejak awal tahun 1960an sampai hari ini; operasi inteligen, status DOM untuk mengamankan pembangunan bias pendatang tadi
· Kekerasan ekonomi, sosial dan budaya: eksploitasi sumber daya alam
· Kekerasan pencitraan berupa stigma “ Papua bodoh, separatis, malas, koteka, Gereja Papua mendukung Papua merdeka, Papua komsumtif”, dan lain-lain
· Kekerasan kultural, yang terlihat dengan pelarangan buku Papua tentang sejarah dan kebudayaan Papua.
3.Pembangunan Era Otonomi Khusus
Saat Otonomi khusus mulai dilaksanakan, kami sebagai Pimpinan Gereja berharap: pemerintah akan jedah; kekerasan akan berhenti. Papua akan pulih secara bertahap. Tetapi justru dalam suasana Otonomi Khusus kekerasan meningkat. Gambaran berikut mencerminkan kekerasan yang dialami umat sejak Otsus diberlakukan.
· Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (Papua Barat)
· MRP yang dilumpuhkan
· Kekerasan Militer yang terus berlanjut: (a) pembangunan /penambahan Batalyon (di Merauke, Nabire dan Wamena); (b) pelanggaran HAM berat sebagaimana yang terlihat dalam kasus: Wasior (Juni –Juli 2001), Penculikan dan Pembunuhan Theys Eluay (10 November 2001), Peristiwa Wamena (6 Oktober 2002, April 2003); operasi militer di Mantembu, Serui pembunuhan Yawan Wayeni tanggal 13 Agustus 2009), kekerasan Kapeso (Juni 2010) Abepura Berdarah (Desember 2001, 16 Maret 2006) Penembakan/Pembunuhan Paska Kongres (19 Oktober 2011)
· Otsus yang tidak didukung oleh Perdasi dan Perdasus
· Pembunuhan Terhadap para Hamba Tuhan (seperti: Pdt. Elisa Tabuni, Agustus 2011; Pdt. Kinderman Gire, Maret 2011) stigma separatis terhadap Gereja (GKI, Kingmi dan Baptis Papua)
· Pembiaran terhadap penyimpangan/penyalah-gunaan dana otsus
· Pelayanan kesehatan yang buruk, Gizi buruk dan penderita HIV dan AIDS yang terus meningkat;
· Pendidikan yang tidak berkualitas menyebabkan rendahnya SDM Papua Arus migran yang terus meningkat
· Diskriminasi dan marginalisasi terhadap Papua di segala bidang.
4. Dampak Kekerasan Atas Nama Pembangunan: Lahirnya Nasionalisme (Separatisme)
Pengalaman umat kami menjalani pembangunan yang berwajah kekerasan ini; yang dilakukan secara sistematis dan terencana dengan bantuan masyarakat internasional secara terus-menerus melahirkan “nasionalisme Papua” (menurut Pemerintah Indonesia: separatisme). Kami pimpinan Gereja menilai apa yang sedang dialami umat ini; tidak bedanya dengan yang dialami orang pribumi di Jawa dan Sumatera dalam tahun 1900an; yang melahirkan nasionalisme orang-orang pribumi Jawa yang mendorong semangat kebangsaan Indonesia. Nasionalisme Jawa (dalam pandangan Belanda yang kebijakannya mempora-porandakan kehidupan orang pribumi Jawa, dll adalah “separatisme”).
Sekali lagi, kekerasan-kekerasan ini yang telah lama terjadi (tanpa penyelesaian), melahirkan dan menyuburkan: Nasionalisme Papua, yang menurut kami, perasaan bahwa kami (Orang Asli Papua) tidak diakui, dan tidak diterima sebagai manusia yang setara dalam hukum. Kami “orang asli Papua” bukan bagian dari masyarakat Indonesia, seperti halnya nasionalisme Papua seperti nasionalisme Soekarno, Moh Hata dll, yang lahir dan bertumbuh dalam konteks penindasan dan kekerasan penjajah Belanda.
5. Keprihatinan Gereja
Keprihatinan kami sebagai pimpinan Gereja dalam konteks demikian berangkat dari ajaran Kitab Suci kami (Mazmur 72:1-4) ialah: nasionalisme (atau separatisme) ini kemudian dijadikan sebagai dasar: untuk membenarkan pengiriman dan penggunaan pendekatan Keamanan; yang pada gilirannya sedang melahirkan pemusnahan etnis.
6. Sejumlah Pertanyaan Pimpinan Gereja Kepada Pemerintah
Berhadapan dengan kenyataan: mata rantai kekerasan tanpa akhir seperti itu yang melahirkan (menyuburkan Nasionalisme Papua), kami pimpinan Gereja ingin menyampaikan beberapa pertanyaan kepada Bapak Presiden RI:
6.1. Kapan pemerintah ini ‘berefleksi dan menghentikan politik “lempar batu sembunyi tangan” menghadapi “separatisme (kami menyebutnya “nasionalisme”) Papua yang lahir karena tidak tahan menghadapi sistem penindasan Negara? Kapan pemerintah Indonesia ini menjadi dewasa dan duduk dan melibatkan ahli dan pakar-pakar nasional dan internasional bisa mengambil tanggung jawab “mengurus bayi nasionalisme Papua tadi.
6.2. Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak: tanpa melibatkan semua unsur masyarakat Papua itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
· Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak:tanpa menyinggung akar persoalan Papua: Pepera /of Free Choice yang itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
· Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak:tanpa menyinggung pelanggaran HAM/keadilan itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
· Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak: tanpa menyinggung kebijakan pembangunan “bias pendatang” itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
· Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak:tanpa menyinggung tuntutan rakyat Papua dewasa ini untuk berdialog yang juga didukung banyak kalangan di luar negeri itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
6.3. Kami berpendapat pemerintah Indonesia sepakat dengan umat Tuhan di Tanah Papua bahwa Otonomi khusus telah gagal. Dan UP4B yang dibuat pemerintah yang statusnya lebih rendah dari UU Otsus ini adalah solusi dari pihak pemerintah menyelesaikan masalah Papua. Kapan pemerintah duduk mendengar jalan keluar yang disiapkan oleh umat Tuhan di Papua untuk menyikapi Otonomi khusus yang gagal itu?
7. REKOMENDASI
Dalam rangka menyikapi “bayi nasionalisme” yang lahir dalam konteks pemerintahan yang berwajah kekerasan di atas, kami Pimpinan Gereja di Tanah Papua telah mengeluarkan Komunike Bersama Pimpinan Gereja (10 Januari 2011), Deklarasi Teologi (pada tanggal 26 Januari 2011) yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah gagal membangun orang asli Papua (kecuali melahirkan dan menyuburkan aspirasi Papua merdeka); dan tidak punya niat untuk memutuskan mata rantai kekerasan ini.
Sehingga untuk keluar dari lingkaran kekerasan ini, kami Pimpinan Gereja mendukung pernyataan Bapak Presiden RI (pada 6 November 2004) saat menerima Delegasi Gubernur Provinsi Papua bahwa masalah Papua akan diselesaikan secara adil, konprehensif dan bermartabat. Janji yang sama Bapak Presiden sampaikan dalam Pidato kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 2008, 16 Agustus 2010 dan yang terakhir pada tanggal 16 Agustus 2011 bahwa, “menata Papua dengan hati, adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua”. Dalam semangat ini dan ajaran Kitab Suci yang telah dikutip di atas, maka kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut.
(a) Kami meminta Pemerintah membuka diri menggelar DIALOG yang inklusif, tanpa syarat, yang adil, bermartabat dan komprehensif dengan rakyat Papua, dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
(b) Dalam rangka menuju dialog dimaksud, maka kami mendesak Bapak Presiden untuk segera
b.1. menghentikan Operasi Tuntas Matoa 2011 yang sedang berlangsung di Paniai sejak tanggal 12 Desember yang telah menewaskan 14 orang, melukai puluhan lainnya dan membakar kampung-kampung;
b.2. Menarik pasukan non-organik dari Papua;
b.3. Membebaskan para tahanan politik; dan
b.4. Mencabut Peraturan Pemerintah No. 77/2007 tentang larangan penggunaan simbol-simbol bernuansa separatis di Aceh, Maluku dan Papua.
(c) Agenda menyelamatkan Otsus Papua dan UP4B yang akan dijalankan, kami nyatakan sebagai kerja sepihak Pemerintah Indonesia yang tidak demokratis karena dilahirkan tanpa partisipasi rakyat Papua.
(d) Dengan adanya nasionalisme Papua yang sudah terbangun lama dan dipicu oleh berbagai kekerasan dan ketidakdilan sistematis, maka kami Gereja-Gereja Papua menyampaikan kepada Bapak Presiden bahwa keinginan rakyat Papua untuk merdeka dan berdaulat telah mengkristal. Gereja-Gereja Universal dalam solidaritasnya dengan Gereja-Gereja dan suara Umat Tuhan di Tanah Papua telah merekomendasikan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right for self determination) rakyat Papua.
Demikian pernyataan kami, Pemimpin Gereja-Gereja di Tanah Papua sebagai pesan profetis di hari Natal kepada rakyat dan Pemerintah Republik Indonesia. Tuhan memberkati.
Jakarta, 16 Desember 2011
Hormat kami,
Ketua Sinode GKI di Tanah Papua
Pdt. Jemima M. Krey, S.Th
Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua
Pdt. Dr. Benny Giay
Ketua Persekutuan Gereja Baptis Papua
Pdt. Socratez Sofyan Yoman, MA
Gereja Kristen Alkitab Indonesia
Pdt. Dr. Martin Luther Wanma

Deklarasi Theologi Gereja-Gereja Papua


DEKLARASI TEOLOGIA GEREJA-GEREJA PAPUA

TENTANG GAGALNYA PEMERINTAH INDONESIA MEMERINTAH DAN MEMBANGUN ORANG ASLI PAPUA
“Perahu kehidupan kami sedang dipukul badai dan tenggelam”

Pada hari ini, Kamis, 26 Januari 2011, kami Pemimpin Gereja-Gereja di Tanah Papua bersama umat Kristen berkumpul untuk mendeklarasikan sikap dan posisi Gereja-Gereja berkenaan dengan perkembangan pemerintahan dan kebijakan pembangunan di Tanah Papua, sejak berintegrasi dalam Negara Indonesia, teramat khusus sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus di Tanah Papua.
Gereja-Gereja sangat prihatin dengan kondisi hidup umat Tuhan, teristimewa Orang Asli Papua pemilik negeri Tanah ini yang semakin tidak menentu di tengah berbagai kebijakan pembangunan yang dilakukan Pemerintah Indonesia di atas Tanah Papua. Pembangunan yang diadakan lebih berorientasi pada kemajuan fisik dan kepentingan Indonesia di Tanah Papua.

Senin, 23 Juli 2012

Deklarasi Teologi Gereja-Gereja Papua


PERAHU KEHIDUPAN KAMI SEDANG DIPUKUL BADAI DAN TENGGELAM
DEKLARASI TEOLOGIA GEREJA-GEREJA PAPUA
TENTANG GAGALNYA PEMERINTAH INDONESIA MEMERINTAH DAN MEMBANGUN ORANG ASLI PAPUA
26 Januari 2011


PERAHU KEHIDUPAN KAMI SEDANG DIPUKUL BADAI DAN TENGGELAM
DEKLARASI TEOLOGIA GEREJA-GEREJA PAPUA
TENTANG GAGALNYA PEMERINTAH INDONESIA MEMERINTAH DAN MEMBANGUN ORANG ASLI PAPUA
Ingatlah, ya Tuhan apa yang terjadi atas kami, pandanglah dan lihatlah akan kehinaan kami
milik pusaka kami beralih kepada orang lain, rumah-rumah kami kepada orang asing
kami menjadi anak yatim piyatu tak punya Bapa, dan ibu kami seperti janda, air kami kami minum dengan membayar, kami mendapat kayu dengan membayar, kami dikejar dekat-dekat, kami lelah, bagi kami tak ada istirahat (Ratapan 5:1-5)

1.KAIROS
Pada hari ini, saat kami merayakan 156 tahun masuknya Injil di tanah Papua 5 Februari 1855 - 2011, kami, sebagai pimpinan Gereja-Gereja Papua ((yang mengakui Pengakuan Iman Rasuli) memaknai beberapa kejadian berikut yang terus meresahkan dan mencederai rasa keadilan orang asli Papua sebagai Kairos, waktu Tuhan, momentum untuk kami, para pemimpin Gereja bersuara menyatakan pandangan dan sikap kami.
(a) Telegram Depdagri/surat Klarisifikasi Depdagri No. 188.341/110/50 tertanggal 13 November 2011 No. yang secara sewenang-wenang mendukung kinerja Kesbang/Pemda Provinsi Papua, dalam melaksanakan pemilihan MRP yang tergesa-gesa, dikawal oleh : milisi barisan Merah Mutih dan pasukan TNI.
(b) Kinerja Pemerintah Provinsi Papua yang membentuk LMA dan Barisan Merah Puith di mana-mana sambil menyebar berita Gereja Papua “telah masuk ke ranah politik”.
© Kecenderungan Gereja tertentu yang semakin mendekatkan diri kepada Firaun yang secara menindas Papua.

WVI (World Vision Internasional) di Papua:

WVI (World Vision Internasional) di Papua:
Dari Proyek Kemanusiaan Melayani Menuju Proyek Politik NKRI Menggagahi Papua
 
WVI (World Vision International/Wahana Visi Indonesia) di Papua: