Senin, 23 Juli 2012

Marginalisasi dan Diskriminasi Terhadap Papua

KEBIJAKAN APARTHEID JAKARTA TERHADAP PAPUA
DAN PENYAKIT PAPUA FOBIA:

Marginalisasi dan Diskriminasi Terhadap Papua
KEBIJAKAN APARTHEID JAKARTA TERHADAP PAPUA
DAN PENYAKIT PAPUA FOBIA:

Marginalisasi dan Diskriminasi Terhadap Papua
Kemudian bangkitlah seorang raja baru memerintah tanah Mesir yang tidak mengenal Yusuf. Berkatalah raja itu kepada rakyatnya “bangsa Israel itu sangat banyak dan lebih besar jumlahnya dari kita. Marilah kita bertindak dengan bijaksana terhadap mereka supaya mereka jangan bertambah banyak lagi jika –terjadi peperangan- jangan mereka bersekutu dengan musuh kita dan memerangi kita lalu pergi dari negeri ini”. Sebab itu pengawas rodi ditempatkan atas mereka …. (Keluaran 1: 8 dst)
Dalam bulan Agustus 2008, seorang teolog yang sudah lama hidup di Afrika Selatan dalam jaman apartheid, berkomentar setelah berkunjung ke Papua, dan keluar masuk beberapa kota dan daerah: “”saya melihat pemerintah Indonesia sedang mempraktekkan kebijakan apartheid di Papua”. 

***
Tanggal 14 Oktober 2008, ketika Ny. Pdt. Jemima Krey S.Th, Ketua Sinode GKI di Tanah Papua dalam kata sambutannya pada pembukaan KGM –Konferensi Gereja & Masyarakat menuntut Pemerintah Indonesia “menghentikan tudingan terhadap Gereja sebagai pendukung Gerakan Separatis Papua”, kita pikir ini sesuatu yang biasa. Bukan sesuatu yang luar biasa. Karena dari sejak tahun 1960an Gereja Papua sering dituding sebagai Gereja pendukung Gerakan OPM. Dalam paper ini saya hanya memilih pengalaman 2 komponen masyarakat Papua: Gereja Papua dan golongan intelektual Papua yang terus-menerus diburu dan dibunuh dengan “Politik stigma itu” supaya diskusi kita mengenai topic “marginalisasi dan diskriminasi” tidak mengambang. Saya beranggapan bahwa dua kejahatan pemerintah
Republik tadi dan penindasan terhadap Papua secara umum sebagai pengungkapan dari penyakit Papua fobia yang pernah diidap Jakara. Penyakit atau ketakutan penguasa Jakarta; yang serupa dengan yang diderita Firaun yang “takut orang Israel bekerja sama dengan musuh dan membunuh Firaun dan bangsanya, ” sehingga tanpa pikir panjang Firaun bertindak membunuh dan memperbudak Israel dan membuang bayi laki-laki yang barudilahirkan ke sungai Nil. Demikian juga Jakarta dihantui ketakutan, generasi baru Papua akan bangkit mengugat pencaplokan Papua dengan menipu masyarakat Papua dan masyarakat internasional melalui Pepera 1969. sehingga Jakarta menerapkan kebijakan apartheid tadi untuk menekan rasa takutnya.
1. Sejarah Pembredelan Buku Papua
Salah satu Pemerintah menyembunyikan luka ini ialah dengan menyingkirkan para mahasiswa. Ini bisa dilakukan dengan kebijakan pemerintah Indonesia dalam tahun 1964 – 1966 yang membuang puluhan mahasiswa Papua ke Jawa jauh sebelum penyelenggaraan Pepera tahun 1969. Di Jawa para mahasiswa dan cendikiawan Papua ini di tampung di beberapa kota. Setelah itu mereka yang mengungkapkan pendapatnya melalui tulisan mengenai pepera 1969 yang direkayasa Pemerintah Indonesia, ditahan dan ada yang diculik dihilangkan. Sejak itu terjadi “diskriminasi dan marginalisasi oleh Negara terhadap kaum intelektual Papua”. Kita dapat membaca dalam daftar buku karya orang Papua berikut (tidak hanya sejarah tetapi juga kebudayaan) yang dilarang beredar oleh Pemerintah Republik ini, sejak tahun 1960an.
No
Tahun buku di larang
Pengarang dan Judul buku
Lembaga yang membredel/Nomor
1
1961 – 1966
Semua buku tentang kebudayaan dan sejarah Papua disita, rumah-rumah warga digeledah dan buku-buku (yang berbau sejarah dan budaya Papua) ditemukan dibakar di tempat umum dan pemiliknya yang diteror dan ditangkap
Petinggi pemerintah RI di Papua (Irian Barat pada waktu itu)
2
1963
Pdt. I.S. Kijne, “Seruling Mas
Sda
3
1971
Sacharias Sawor, Ik ben een Papua
Kep 004/DA/6/1971
4
1978
Brian May, Indonesian Tragedy[1]
Kep 093/JA/9/1978
5
1979
Pdt. Jan Mamoribo, Benteng Jembekaki
Petinggi pemeritah RI di Papua
6
1979
A.Mampioper, Jayapura ketika perang Pasifik
Sda
7
1986
Benny Giay, Kargoisme di Melanesia
Sda
8
1987
George Mombiot, Poisoned Arrows
Pemerintah Pusat
9
1989
Robin Osborne, Indonesia’s Secret War
Kep 045/JA/1989
10
November 2003
Benny Giay, Penculikan dan Pembunuhan Theys Eluay
Muspida Provinsi Papua
11
November 2007
Sendius Wenda, Tenggelamnya Rumpun Melanesia
12
Agustus 2008
Socrates Yoman, Pemusnahan Etnis Melanesia
Beberapa Buku yang ditulis orang Papua, yang dilarang beredar oleh Pemerintah Indonesia
Intelektual Papua bukan satu-satunya unsur masyarakat yang mengalami represi dan pemberangusan bertahun-tahun sejak tahun 1960an. Pemerintah Republik ini telah dan terus menggunakan semua kekuatan dan tenaga untuk melumpuhkan semua unsur masyarakat Papua, termasuk Gereja Papua.
2. Sejarah Bagaimana Gereja Papua Memikul Salib “Stigma Pendukung Papua Merdeka”
Gereja Papua tidak kebal terhadap kebijakan Negara yang secara sistimatis melumpuhkan citranya. Simak politik stigma berikut yang dipakai Pemerintah Republik ini untuk melumpuhkan Gereja sejak tahun 1960an.
No
Tahun
Tuduhan/Tudingan
Lembaga yang menggunakan politik stigma
1
September 1966
Menuding Sinode Gereja2: GKI, Kingmi Papua, Katolik (Keuskupan Jayapura), Gereja Pentakosta sebagai pendukung separatis dengan cara menerbitkan sebuah laporan Rahasia berjudul Penertiban Kegiatan-kegiatan Missionary di Irian Barat.
Petinggi keamanan RI di Papua (Irian Barat pada waktu itu)
2
September 1966
Menuding Gereja menyelenggarakan acara penamatan untuk TK dan SKP (Sekolah Kepandaian Putri) di Manokwari “untuk memberi kesempatan kepada anak-anak untuk menyanyikan lagu, “Hai Tanahku Papua”
Sda
3
Desember 1992
Pemerintah memposisikan Gereja Papua sebagai “golongan tertentu yang mau memecah-belah kesatuan dan persatuan: menyikapi Laporan pelanggaran HAM yang diangkat oleh Gereja GKI dan PGI dalam bulan April 1992.
Sda
4
Agustus 2000
Menuding Gereja Papua dan LSM internasional mendukung Papua merdeka dengan mendanai Kongres Rakyat Papua yang ke II (Mei –Juni 2000):
Petinggi keamanan di Jakarta
5
Januari 2006
Menuding Gereja Papua yang sedang berjuang untuk mendukung Papua merdeka.
Petinggi keamanan di Jakarta
6
Agustus 2007
Menuding Ketua SInode GKI alm. Pdt. Corinus Berotabuy, ke Australia untuk mencari dukungan politik dari rakyat dan pemerintah Australia untuk Papua merdeka
Milisi Merah Putih yang didukung oleh Pemerintah RI
7
Juni 2006 – dewasa ini
Menuding Sinode Gereja Kingmi mendukung Papua merdeka. Pemerintah memecah Gereja ini menjadi dua
Pendeta Paul Paksoal Ketua Badan Pengurus GKII yang berbasis di Jakarta pendukung yang bekerja sama dengan penguasa
8
Juni 2007 ---
Menuding Sinode Persekutuan Gereja Babtis Papua (PGBP) mendukung Papua merdeka; sehingga Gereja ini juga dipecah.
Duta Besar RI di Canberra, Australia sedang memberi keterangan di depan DPR RI. Gereja sedang bermain menyebar berita tentang genosida Papua, katanya
3.Teror Mental dan Psikologis
Kekerasan terhadap intelektual dan Gereja Papua yang digambarkan diatas, diikuti aksi-aksi lain di lapangan. Perlakuan aparat pemerintah terhadap kedua komponen masyarakat tadi, tidak berhenti pada tingkat mengeluarkan pernyataan menuduh Gereja di public dan menerbitkan surat keputusan pembredelan buku. Mereka bertindak lebih dari itu. Para penulis mengaku (a) pernah didatangi aparat untuk diinterogasi kemudian disuruh pulang setelah diberi peringatan, (b) mendapat telpon gelap dan sms berbau ancaman, (c) mahasiswa dan warga yang kedapatan memiliki buku tsb diteror, ditahan dan (d) mendatangi toko buku yang kebetulan menjual buku yang dilarang.
Lalu bagaimana dengan petugas Gereja. Tudingan separatis yang dialamatkan kepada pimpinan gereja tadi ditindak-lanjuti dengan beberapa aksi lain. (a) mengikuti petugas Gereja, (b) mendatangi rumah pada pimpinan Gereja, dengan alasan silahturahmi; (c) melakukan penyusupan dalam lembaga Gereja sehingga aktif dalam kegiatan Gereja untuk memantau kegiatan gereja. (d) ABRI, TNI POLRI menyelenggarankan acara-acara Gereja seperti Paskah atau Natal ABRI Rakyat untuk mengendalikan Gereja. Kegiatan Paskah atau Natal bersama ini dimanfaatkan ABRI untuk menyebar tudingan terhadap Gereja
Aparat sering menyelenggarakan Acara Natal dan Paskah dalam rangka mengurung Gereja
Gambar di atas: natal yang diselenggarakan ABRI/TNI POLRI Desember 1997 di GOR Cenderawasih Jayapura.
Ketika seorang pimpinan gereja seperti Ketua Sinode berbicara menantang semua pihak untuk menghentikan: “tudingan makar kepada Gereja” maka hal itu harus dilihat dalam terang pengalaman-pengalaman ini.
4. MEMAHAMI DAN Menganalisa Kelakuan Pemerintah Yang Represif Terhadap Gereja dan Intelektual Papua
Bagaimana kita melihat dan memahami tindakan-tindakan kekerasan Pemerintah terhadap Gereja dan unsur masyarakat sipil yang digambarkan di atas.
4. 1. Suara Ibu Ketua Sinode GKI: Suara BPAm Sinode GKI Sebelumnya, Suara Semua Sinode Gereja-Gereja Papua
Ketika Ibu Pdt. Jemima Krey, Ketua Sinode GKI di Tanah Papua dalam pidato pembukaan KGM 2008 di Hotel Sentani Indah, pada tanggal 14 Oktober 2008, yang meminta pemerintah Republik Iblis ini untuk “menghentikan tuduhan separatis terhadap Papua”: ia sebenarnya melawan dan menantang sejarah dan budaya kekerasan dari pemerintah Republik ini yang telah dibangun Republik ini selama bertahun-tahun di Papua. Dengan mengacu kepada sejarah seperti itu, permintaan Ibu Ketua Sinode GKI tadi, tidak boleh dilihat sebagai tanggapan pribadi dan tanggapan sesaat seorang Ibu Pdt. Jemima Krey, yang lahir secara tiba-tiba. Suara ibu Ketua tadi “yang meminta stigma separatis dihentikan” sudah lama disampaikan Ketua-Ketua Sinode GKI lain sebelumnya. Suara itu suara pimpinan dan umat Sinode GKI di Tanah Papua lainnya sejak tahun 1960an. Ibu Ketua Sinode hanya menggunakan wadah ini untuk ke sekian kalinya mengulangi kembali “pernyataan yang senada” kepada penguasa Republik ini.
Tetapi benar juga kalau dikatakan, suara Ibu Ketua Sinode tadi mewakili suara semua Gereja di Papua yang sudah pernah dituduh pendukung Gerakan Papua merdeka sejak awal tahun 1960an. Karena semua Gereja di Papua pernah dituduh berpolitik mendukung Papua merdeka.
4.2. Siasat Hancurkan Benteng dan kekuatan Masyarakat
Ketika Pemerintah secara gencar melumpuhkan (a) Gereja dengan tuduhan tadi dan (b) kaum intelektual Papua dengan melarang buku (sebagaimana yang di sebutkan di atas), sebenarnya ia memilih cara yang strategis untuk melumpuhkan dua lapisan benteng kekuatan masyarakat sipil. Larangan terhadap buku-buku (tentang Papua yang ditulis oleh orang Papua dan non-Papua) dan tudingan terhadap Gereja (sebagaimana yang digambarkan di atas) adalah cara halus membuldoser kekuatan-kekuatan masyarakat sipil Papua supaya pemerintah bisa lakukan apa saja terhadap rakyat biasa di masyarakat akar rumput. Lukisan, seorang pelukis Papua di samping ini, menunjukkan keadaan demikian.
Lukisan:Dibuat setelah penembakan terhadap 2 orang pelajar SMP di Waghete, Kab. Deiyai, Januari 2006. ABRI/TNI POLRI yang sedang berbuat apa saja di masyarakat karena dua kekuatan (Gereja dan Intelektual Papua sudah dihancurkan)
Pemerintah Republik ini melihat siasat membungkam Gereja atau penulis dan wartawan Papua sebagai “jalan tol” untuk menundukkan rakyat.
4.3. Pengalaman Gereja Timor Leste Awal tahun 1980an
Ketika membaca pengalaman Gereja Papua demikian yang dituduh sebagai pendukung separatis, kita semuanya, baik peserta KGM hari ini, maupun masyarakat Papua sejak awal tahun 1960an, bisa menarik kesimpulan bahwa Pemerintah Republik ini hanya mengulangi sejarah penggunaan senjata stigma yang pernah dipakai untuk melumpuhkan Gereja Katolik Timor Leste. Tidak ada yang baru di Republik ini. Gereja Katolik di Timor Leste pada tahun 1980an pernah dituduh sebagai Katolik Fundamentalis yang anti-Islam yang mendukung kemerdekaan Timor Leste. Kita tidak perlu heran. Penguasa Republik ini sedang memainkan kartu sama di Papua.
4.4.Black Campaign dan Dukungan Mayoritas Islam
Melihat catatan di atas, kita bisa mengatakan bahwa sejak tahun 1960an pemerintah Republik ini telah melancarkan “black campaign” di Indonesia: yaitu kampanye hitam untuk membangun citra negative terhadap Gereja dan unsur masyarakat sipil Papua, di lingkungan warga negara Republik ini yang mayoritas beragama Islam. Apa yang sebenarnya yang ingin dicapai oleh Pemerintah ini? Ia ingin mendapat dukungan dari umat Islam yang mayoritas terhadap tindakan dan program-program pembangunan Pemerintah yang tidak berpihak kepada Papua. Dengan kampanye demikian, Penguasa Republik berbagi pesan kepada mayoritas penduduk Indonesia “jangan percaya Gereja Papua kalau ia kritis terhadap kebijakan pembangunan pemerintah; karena ia (Gereja Papua) memang pendukung gerakan separatris OPM”.
Seorang warga yang ditemukan tewas di Waena (Agustus 2007). Ia ditembak seorang anggota Brimob tetapi pelakunya tidak pernah diproses
4.5. Apartheid dalam praktek
Seorang pengamat yang sering berkunjung ke Papua, bulan Agustus 2008 lalu, mengatakan pemerintah Indonesia sedang mempraktekkan system apartheid di Papua. Walaupun tidak ada hokum tertulis tentang apartheid. Tetapi dalam praktek yes. Kebijakannya membuktikannya. Apakah pengalaman 2 unsur masyarakat sipil tadi dan unsur masyarakat lainnya bisa kita jadikan sebagai dasar atau pijakan mendukung pernyataan tsb?
4.6. Indonesia Sebagai Penjajah yang Sesungguhnya?
Pelarangan buku yang dilakukan terhadap karya tulis orang Papua (dan non-Papua sebagai mana yang digambarkan di atas) oleh pemerintah Indonesia, sebenarnya, hanya sebuah pengulangan terhadap sejarah pelarangan buku dan pers yang dilakukan penjajah Belanda sejak tahun 1906 – 1942. Pemerintah Belanda pernah memberlakukan kebijakan yang sama terhadap intelektual Jawa dan Sumatera dalam tahun 1920an. Pengalaman sejarah kebijakan pemerintah Belanda ini dengan gamblang digambarkan oleh Mirjam Matters dalam disertasi yang berjudul, Dari Perintah Halus ke Tindakan Keras[2]. Bagi Papua, pemerintah Indonesia adalah penjajah yang sebenarnya yang telah berguru dari Belanda. Penjajah Belanda dan Indonesia memiliki watak, selera dan orientasi yang sama menyikapi upaya-upaya rakyat terjajah menciptakan ruang berpendapat. Sekali lagi tidak ada sesuatu yang baru di sini.
4.7. Berdialog dengan Gereja Belanda dan Prof. Verkuijl?
KGM ini sudah diadakan sejak 1985 di Biak, “untuk merefleksikan realitas kehidupan masyarakat serta mengkaji kecenderungan ke masa depan dalam berbagai aspek dalam kehidupan bernegara dan berbangsa”. KGM tahun 1990 diadakan di Jayapura. Dan KGM tahun 2008 diadakan di Jayapura. Persoalannya, apakah KGM tahun ini dengan tujuan tadi, bisa memberi kita orang Papua yang korban, kesadaran baru lalu bangkit lalu menjadi subyek lagi dan mulai berdialog dengan masa lalu, dan berdialog dengan pihak-pihak yang telah bekerja sama untuk menjerumuskan Papua ke neraka Republik ini? Termasuk Gereja Belanda dan Prof. Verkuijl, yang membantu Soekarno menduduki Papua.
Lukisan: Seorang Militer Indonesia yang Beradab (Biadap) Sedang Mengajar seorang Papua yang Primitif
Apakah Gereja Papua dewasa ini mempunyai kekuatan dan keberanian bertanya: “Apakah untuk maksud itu (sebagaimana yang saya gambarkan) engkau (Prof. Dr. Johanes Verkuijl dan Gereja Belanda) mendukung Indonesia merebut dan menduduki Papua? Apa yang mendorong kau menjual kami? Siapa yang memberikan engkau hak untuk itu?[3]
Secara ke dalam saya berharap sumbangan pikiran yang konstruktif dari teolog Papua di sini. Maksud saya, KGM tahun ini harus memberi angin baru untuk memulai wacana agar para teolog Papua dan Gereja dan umatnya terlibat secara aktif berdialog dengan semua pihak yang sudah dan sedang memberi perhatian terhadap masalah Papua. Khusus, menyangkut dialog dengan Gereja Belanda dan Prof. Verkuijl, kita tegaskan bahwa wacana demikian diadakan dalam rangka pemulihan dan pembaruan. Karena keputusan Gereja Belanda demikian, untuk “mendukung Firaun Indonesia menduduki Papua” telah melukai perasaan dan hati orang Papua generasi lalu, yang dewasa ini diwariskan kepada generasi sekarang. Walaupun kita semua menyadari langkah yang diambil untuk memenuhi apa yang dipahami Prof. Verkuijl dan Gereja Belanda sebagai panggilan “jaman”. Semua pihak harus mempunyai keberanian untuk mengungkap luka-luka demikian dengan membuka ruang untuk dialog dari hati ke hati; dialog antar Gereja; dan dialog antar generasi, dalam semangat memelihara kehidupan dan keutuhan ciptaan Tuhan.
Dalam waktu 2 bulan (Juli – Agustus 2007) sekitar 30 orang meninggal akibat Minuman beralkohol yang dibuat dan diperjual-belikan secara liar dan bebas. Dalam sehari 8 orang meninggal dunia
4.7. Sumbangan Buku Pater Dr. Neles Tebay, Papua: Its Problems and Possibilities for A Peaceful Solution
Dialog sebagai mana yang disebut dalam butir di atas, merupakan “pesan dari buku Pater Dr. Neles Tebay, Papua: Its Problems and Possibilities for A Peaceful Solution. Buku tsb baru diluncurkan 8 Oktober 2008 di STFT Fajar Timur Abepura. Terbitnya buku ini dengan pesan “pemecahan masalah Papua secara damai “bisa menjadi “tanda-tanda jaman”; yang mengingatkan kita semua bahwa masalah Papua tidak bisa dan tidak boleh diselesaikan dengan pembungkaman intelektual, jalan stigma terhadap Gereja atau represi TNI POLRI. Siasat penyelesaian masalah demikian mencerminkan mentalitas “bangsa jaman Ken Arok atau Ken Dedes” di Jawa pada abad lalu. Pater Neles menunjukkan cara pemecahan masalah Papua secara manusiawi: yaitu jalan damai, beradab dan jalan Tuhan”. Sebagai Gereja kita tidak boleh terus-menerus membiarkan Marginalisasi dan diskriminasi yang terlihat dalam 2 kejahatan tadi (Lihat butir 1 dan 2) dan kejahatan lainnya. Kita, sebagai Gereja telah punya pijakan, arah dan tujuan dalam perlawanan terhadap kekerasan demikian. Gereja Papua tidak perlu mencari-carinya. Apa dan di mana pijakan kita untuk menyebarkan misi perdamaian dari Kristus?
(a) Alkitab: Kisah campur tangan Tuhan untuk membebaskan orang Israel dari perbudakan adalah salah satu pijakan Gereja. Atau misi Kristus di dunia sebagaimana yang dikotbahkan Kristus dalam Bait Allah (Lukas 4:18, 19)
18 Roh Tuhan ada padaKu oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,
Untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku
19 untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas
untuk memberitakan tahun rahmat Tahun telah datang
Pesan Tuhan lewat Alkitab demikian bisa menjadi pijakan pertama. Tetapi masih ada arah dan pijakan lain.
(b) Sejarah Gereja. Pengalaman Sejarah Afrika Amerika, memperjuangkan hak-hak sipil dan hak-hak politik melawan diskriminasi rasial di AMerika bisa menjadi inspirasi. Kisah hidup dan karya Pdt. Dr. Marthin Luther King, atau perempuan-perempuan pejuang Rosa Parks, Harriet Beecher Stowe dan Mary MacLeod Bethune bisa menjadi sumber inspirasi bagi Gereja; karena siasat perjuangan damai yang mereka pilih digerakkan oleh Ajaran Alkitab.
Demikian juga, sejarah orang Jawa dan Sumatera dalam tahun 1920an hingga 1940an di bawah kekuasaan Belanda (Lihat pelarangan buku-buku di atas) bisa juga menjadi pijakan, kekuatan dan pelajaran bagi Gereja dan semua unsur masyarakat Papua. Dan pijakan yang lain ialah
© Pengalaman Sejarah Gereja di Afrika Selatan (ide bahwa Pemerintah Indonesia sedang mempraktekkan apartheid di Papua). Pengalaman Gereja Afrika Selatan dan Gereja lain dalam sejarah masa lalu yang melakukan perlawanan dalam menyikapi keadaannya, bisa menjadi sumber pengetahuan dan ilham yang berharga.
(d) Dan yang terakhir pengalaman Gereja Papua sendiri pada masa lalu, bisa menjadi pijakan dan dasar yang kuat dalam menyikapi keadaan umat yang ditindas dewasa ini.
4.8. Indonesia Mengidap Papua Fobia: Penyakit Serupa yang Diderita Firaun (Keluaran 1:8 dst)
Sebelum membahas beberapa pertanyaan, kita harus berhenti sejenak menjawab pertanyaan: mengapa petinggi Negara ini membabi buta membredel buku dan menuding Gereja “mendukung Papua merdeka”? Mengapa Pemerintah Republik ini melanggar HAM Papua secara sistimatis dengan cara membungkam dan membunuh karakter Gereja? Jawabannya pendek. Pemerintah Republik ini sedang diserang penyakit Firaun. Apa itu penyakit Firaun? Firaun memperbudak bangsa Israel dan memerintah bidan-bidan untuk membunuh “semua bayi orang Yahudi yang lahir” (Kel 1:16) dan kemudian memerintah rakyatnya “untuk melemparkan semua laki-laki yang lahir bagi orang Ibrani ke dalam sungai NIl” (Kel 1:22) karena dihantui ketakutan “jangan-jangan Israel bergabung dengan musuh-musuhnya dan menghabiskan bangsanya”. Karena dihantui fobia, ketakutan yang berlebihan tadi, “Lebih baik kita membunuh mereka (bangsa Israel) sebelum kita dibunuh” itu kesimpulan Firaun.
Saya kira Indonesia juga mengidap penyakit yang sama. Papua Fobia. “Bunuh orang Papua. Bunuh semua. Jangan ada yang tertinggal. Pendeta (Johan Ariks), dosen (Arnold Ap), Aktifis, bunuh mereka. Habiskan mereka sebelum generasi baru Papua bangkit membuka kekejaman kita masa lalu dan melawan kita”. Itu pikiran Jakarta. Terlebih setelah penelitian John Saltford (2003) dan Drooglevert (2005)[4] diterbitkan. Papua dalam mata Indonesia, “ibarat duri dalam daging” yang harus dicabut untuk kenyamanan Indonesia. Dilihat dari sudut pandang sejarah, Indonesia sedang melakukan apa yang Hitler lakukan terhadap bangsa Yahudi. Karena Hitler pun pernah terjangkit penyakit ini sehingga membunuh jutaan orang Yahudi dalam Perang Dunia ke II. Tetapi Indonesia itu kan halus perasaannnya. Pemusnahan etnis Papua juga dilakukan secara halus. Tidak mengikuti gaya Hitler.
5. Pertanyaan Untuk Diskusi: Apartheid Indonesia di Papua, Ibu Kandung Separatisme
(a) Apakah benar Indonesia sedang melaksanakan sistem apartheid di Papua (walaupun tidak ada hokum positip yang mendukung kebijakan itu)? Apakah kita bisa membuktikan bahwa Pemerintah Neraka Kesatuan Republik Iblis ini memang sedang mempraktekkan kebijakan yang beraroma apartheid di Papua? Apakah kebijakan diskrimantif terhadap Papua ini bisa kita jadikan sebagai indicator ke arah itu?
(b) Selama ini pemerintah menggunakan “istilah separatisme untuk melumpuhkan Papua? Bagaimana dalam dialog yang sedang diwacanakan, bisakah kita nyatakan bahwa “ibu kandung separatisme Papua ialah ideology dan kebijakan apartheid Jakarta terhadap Papua sejak tahun 1960an?
(c) Bisakah kita sebagai Gereja Papua & masyakat mengajak dialog dengan Gereja Belanda yang dalam tahun 1960an telah bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk menjerumuskan Papua ke dalam Neraka Kesatuan Republik Iblis ini? Bagaimana ini bisa ditindak-lanjuti? Apa target dan siapa yang paling berwewenang untuk menindak-lanjuti dialog itu?
(d) Kita telah menghasilkan banyak rekomendasi dan keputusan dalam KGM ini? Apakah yang saudara bisa membawa pulang untuk dikerjakan di lingkungan keluarga, jemaat dan kampong?


[1] Barangkali karena Bab yang membahas Pepera 1969 hampir sama dengan yang dilakukan oleh Prof Drooglevert dan John Salford.
[2] Mirjam Matters (2003), Dari Perintah Halus ke Tindakan Keras. Pers Zaman Kolonial Antara Kebebasan dan Pemberangusan 1906 - 1942
[3] Keterlibatan Prof. Verkuijl dan Gereja Belanda, bisa dibaca dalam buku: Zending Op Weg Naar de Toekomst dan disertasi Pdt. Dr. Hans van de Wal “Een Aanvechtbare en Onzekere Situatie (2006)
[4] Penelitian Prof. Drooglever (2005) Een Daad van Vrije Keuse. De Papoea’s van westelijke Nieuw Guniea en de grenzen van het zelfbeschikkingsrecht. Amsterdam: Boom; membenarkan penelitian John Saltford yang diterbitkan 2 tahun sebelumnya. Lihat John Saltford (2003) The United Nations and The Indonesian Takeover of West Papua, 1962 – 1969. London/New York: Routledge Curzon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar