Senin, 23 Juli 2012

Deklarasi Teologi Gereja-Gereja Papua


PERAHU KEHIDUPAN KAMI SEDANG DIPUKUL BADAI DAN TENGGELAM
DEKLARASI TEOLOGIA GEREJA-GEREJA PAPUA
TENTANG GAGALNYA PEMERINTAH INDONESIA MEMERINTAH DAN MEMBANGUN ORANG ASLI PAPUA
26 Januari 2011


PERAHU KEHIDUPAN KAMI SEDANG DIPUKUL BADAI DAN TENGGELAM
DEKLARASI TEOLOGIA GEREJA-GEREJA PAPUA
TENTANG GAGALNYA PEMERINTAH INDONESIA MEMERINTAH DAN MEMBANGUN ORANG ASLI PAPUA
Ingatlah, ya Tuhan apa yang terjadi atas kami, pandanglah dan lihatlah akan kehinaan kami
milik pusaka kami beralih kepada orang lain, rumah-rumah kami kepada orang asing
kami menjadi anak yatim piyatu tak punya Bapa, dan ibu kami seperti janda, air kami kami minum dengan membayar, kami mendapat kayu dengan membayar, kami dikejar dekat-dekat, kami lelah, bagi kami tak ada istirahat (Ratapan 5:1-5)

1.KAIROS
Pada hari ini, saat kami merayakan 156 tahun masuknya Injil di tanah Papua 5 Februari 1855 - 2011, kami, sebagai pimpinan Gereja-Gereja Papua ((yang mengakui Pengakuan Iman Rasuli) memaknai beberapa kejadian berikut yang terus meresahkan dan mencederai rasa keadilan orang asli Papua sebagai Kairos, waktu Tuhan, momentum untuk kami, para pemimpin Gereja bersuara menyatakan pandangan dan sikap kami.
(a) Telegram Depdagri/surat Klarisifikasi Depdagri No. 188.341/110/50 tertanggal 13 November 2011 No. yang secara sewenang-wenang mendukung kinerja Kesbang/Pemda Provinsi Papua, dalam melaksanakan pemilihan MRP yang tergesa-gesa, dikawal oleh : milisi barisan Merah Mutih dan pasukan TNI.
(b) Kinerja Pemerintah Provinsi Papua yang membentuk LMA dan Barisan Merah Puith di mana-mana sambil menyebar berita Gereja Papua “telah masuk ke ranah politik”.
© Kecenderungan Gereja tertentu yang semakin mendekatkan diri kepada Firaun yang secara menindas Papua.
(d) Peristiwa-peristiwa penyiksaan dan pembunuhan dan kebijakan “tembak di tempat” yang marak dewasa ini di mana-mana.
Semua ini dan kejadian lain dalam terang sejarah sunyi yang digambarkan dalam bagian berikut, menjadi “Kairos”, waktu TUhan bagi kami untuk mengeluarkan dokumen ini, setelah berdiskusi dengan sejumlah kecil pendeta dan aktivis kemanusiaan Papua.
1. SEJARAH SUNYI PENDERITAAN PAPUA, WACANA GENOSIDA DAN PERBUDAKAN TERSELUBUNG
Sejak awal tahun 1960an bangsa Papua telah menjalani sejarah sunyi penderitaan yang belakangan disinyalir mengarah kepada Genosida (pemusnahan etnis Papua) yang dilakukan oleh Negara (secara halus, perlahan tetapi pasti), didasari idiologi dan kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada Papua.
(a)Robin Osborne (1987) yang dalam tahun 1980an bekerja sebagai pejabat PNG mensinyalir kebijakan pembangunan pemerintah Indonesia di Papua sebagai Indonesia’s Secret War, Perang Rahasia Indonesia”.
(b)Sebelumnya seorang utusan injil, Pdt. Don Richardson, dalam sebuah makalah yang diberikan dalam Seminar yang digelar oleh KNPI Jayawijaya (paska Peristiwa Jayawijaya 1977) mengingatkan: apabila operasi militer besar-besaran sebagaimana yang terjadi dalam tahun 1977 terhadap Jayawijaya ini diteruskan, Papua akan mengikuti jejak bangsa-bangsa lain dalam sejarah yang telah punah. Terlebih jika tidak ada kebijakan pembangunan yang tidak berangkat dari kondisi real social budaya suku-suku bangsa Papua.
©Senada dengan itu, dalam tahun 1970an Dr. de Bruijn (1978) pejabat pemerintah Belanda di Papua tahun 1940an menyebut bangsa Papua: het verdwenen volk”, bangsa yang sedang menghilang.
(d)Sementara Carmel Budiardjo (yang pada tanggal 28 Desember 2010 diakui sebagai dan diberi gelar oleh rakyat Papua sebagai warga bangsa Papua: Papuaumau, Bin Syowi Venia Atti, Putri Sulung Papua) dalam tahun 1980an menyebut kebijakan pemerintah Indonesia di Papua sebagai program Obliteration of a People, penghancuran sebuah bangsa.
(e)Pengamatan ini telah dikuatkan oleh laporan Yale University yang diluncurkan dalam bulan Desember tahun 2003 bahwa kebijakan pemerintah Indonesia di Papua Barat sedang melakukan genosida/ pemusnahan etnis terhadap Papua. Laporan yang sama dikeluarkan oleh Sydney University dalam bulan Agustus 2005.
(f)Belakangan cendikiawan: Sendius Wenda (2007),Tenggelamnya Rumpun Melanesia, dan Socrates Yoman (2007, Pemusnahan Etnis Melanesia memperkuat apa yang dikatakan banyak pengamat selama ini.
Barangkali, genosida seperti yang dirumuskan PBB tidak terjadi. Tetapi genosida: by design, lewat kebijakan-kebijakan pengkondisian memang sedang terjadi terhadap orang asli Papua. Dengan memposisikan orang asli Papua sebagai “yang lain” yang harus diwaspadai, disikapi, dan di(h)ajar. Posisi Papua sebagai “yang lain” ini menyebabkan Papua didiskriminasi yang mengakibatkan orang asli Papua mengalami marginalisasi dalam segala bidang.
Genosida dalam arti pengkondisian ini sedang terjadi terhadap orang asli Papua. Simak beberapa kebijakan/pengalaman berikut, yang menjadi petunjuk bahwa genoside dalam arti tadi sedang terjadi.
(a) Operasi-operasi militer (baik secara terbuka maupun tertutup) tiada akhir sejak awal tahun 1960an hingga dewasa ini
(b)Larangan /pembatasan terhadap wartawan dan pengamat internasional. Pemerintah sedang menyembunyikan wajahnya yang sebenarnya dari pengamatan pihak luar.
(c) Otonomi khusus sebagai kebijakan alternative (untuk penguatan, perlindungan dan keberpihakan terhadap Papua), digagalkan oleh pemerintah dengan terus melakukan pelanggaran terhadap UU itu. Pemerintah tidak ada niat baik dan kemauan politik untuk membangun orang asli Papua.
(d) Transmigrasi (Jilid II) besar-besaran ke Papua dewasa ini melalui pemekaran Provinsi dan Kabupaten yang dipaksakan (dalam rangka mendatangkan pendatang dari korban lumpur Lapindo atau penduduk bekas jajahan Indonesia (Timor LEste) untuk menciptakan mayoritas pendatang menggagahi Papua dengan menjadikan orang asli Papua menjadi minoritas di negerinya sendiri)
(e) Penyangkalan terhadap kebebasan akademik yang terlihat dengan pelanggaran buku-buku sejarah penderitaan Papua yang ditulis oleh cendikiawan Papua dan non-Papua.
(f) Pengabaian atas hak kesejahteraan yang layak (buta aksara yang tinggi, penderita HIV tertinggi di Indonesia, dan tidak adanya kebijakan pembatasan penduduk yang masuk dari luar) ini semua mengarah ke genoside. Belum lagi lembaga Negara yang terus menyebar teror dan penyiksaan dan “penembakan di tempat”, seperti yang terjadi di Manokwari (September 2010) Wamena (awal Oktober 2010) Puncak Jaya (Maret 2010), Paniai (Oktober 2011) dll.
(g) Terakhir ialah tembakan Jakarta yang terakhir terhadap orang Asli Papua ialah pemilihan anggota MRP yang terkesan tergesa-gesa dan ditambah dengan surat Klarisifikasi Depdagri (No. 188.341/110/50 tanggal 13 Januari 2011) yang terus mengintervensi dan mendorong pelanggaran terhadap Undang-undang Otsus, yang tadinya dianggap jalan terakhir untuk menguatkan, menunjukkan keberpihakan dan melindungi hidup dan masa depan orang asli Papua.
Jadi benar bahwa Genoside atau pengkondisian dan upaya-upaya agar Papua punah sedang dilakukan secara sistimatis dengan mengerahkan semua lembaga dan dengan menggunakan segala cara.


3.BAGAIMANA GEREJA PAPUA MELIHAT SEJARAH “DISGUISED SLAVERY” INI
Gereja Papua yang telah hadir di tanah ini, adalah saksi bisu dari sejarah umat yang terus-menerus mengalami kekerasan negara, terkait dengan apa yang disebut Daniel Dakidae[1], disguised slavery, perbudakan terselubung tadi terhadap Papua. Pertanyaannya ialah bagaimana kita, Gereja Papua menghadapi kenyataan itu dewasa ini?
(a)Pertama, kita sebagai Gereja mengaku dosa kita di hadapan Tuhan. Karena, hingga saat ini, kita telah digiring oleh Negara, dan kekuatan-kekuatan lain dalam dunia ini yang mempunyai berkepentingan merampas Papua yang dengan bekerja sama dengan semua kekuatan lain, yang tanpa kita sadari terus-menerus mengkondisikan kita untuk melihat perkembangan tadi dengan kaca mata para pihak itu. Kita, tanpa disadari telah digiring oleh mereka bahwa Papua tidak masalah. Papua sedang disejahterahkan oleh pemerintah melalui pembangunan. Kita harus berhenti di sini. Kita meminta pengampunan dari Allah bangsa Israel, Allah bangsa Papua, Allah sejarah Gereja dan berganti kaca mata di sini pada hari ini.
(b) Mengamati perkembangan sejarah umat yang demikian, kami menilai ‘ada watak demonic” dari ideology pembangunan yang berwatak totaliter, yang desktruktif yang melandasi semua kebijakan pembangunan yang dilaksnakan pemerintah Indonesia di Papua. Kebijakan pembangunan di Papua kita nilai sebagai “upaya pengkondisian” agar ke depan, dalam jangka waktu tidak tertentu: orang asli Papua punah dengan sendirinya.
(c)Sebagai Gereja, kita kembali kepada “basics”. Kembali ke Alkitab: Firman Tuhan dan Sejarah Gereja untuk melihat perkembangan ini dan menentukan sikap. Kita sebagai Gereja tidak boleh lain. Kembali kepada Alkitab dan Sejarah Gereja. Titik. Melihat perkembangan dan sejarah umat Tuhan yang demikian di tanah Papua (butir 1 tadi) dalam kaca mata dan kerangka Alkitab Firman Tuhan dan Sejarah Gereja.
(d)Dengan mengacu kepada butir (b dan c) di atas, kita, Gereja-Gereja Papua melihat sejarah penderitaan umat yang sedang menuju kepunahan tadi sebagai (d1) tanda-tanda jaman yang disebutkan oleh Jesus agar umat Tuhan waspada (Matius 16:3) dan sebagai (d2) tantangan misiologis dan teologis karena Tuhan, Allah Israel dan Allah Sejarah Gereja kita di Tanah ini mengutus kita ke dunia itu (Mat 18:19-20), dunia di mana umat sedang menjalani sejarah penderitaan yang dikendalikan kekuatan demonik seperti yang digambarkan di atas.

4.MENJADI GEREJA PAPUA YANG BERDIALOG ATAU BERTANYA JAWAB DENGAN TUHAN
Apabila Tuhan, mengutus kita , pimpinan Gereja-Gereja Papua ke dunia penuh kekerasan yang dikondisikan Negara Republik yang demonic ini, kita, Gereja Papua harus menjadi Gereja yang bisa bertanya dan berdialog dengan Tuhan menyangkut hal-hal hakiki, hal-hal yang mendasar dalam kehidupan ini dan tugas kita dalam dunia dan sejarah umat yang berdarah-darah tadi: Tuhan Allah. Allah bangsa Yahudi, Allah Sejarah bangsa lain, Allah Gereja dan leluhur bangsa kami, bangsa Papua: kalau Engkau mengutus kami ke bangsa Papua dengan sejarah seperti itu: (a) di mana Tuhan Allah, engkau sendiri berdiri (menghadapi kekerasan Negara tadi) sebagai Allah kami? (b) Apa pandanganmy TUhan terhadap sejarah di mana banyak warga yang berseru: Ya Tuhan, Mama aa, dll saat mereka disiksa dan di bunuh tentara dan Polisi Republik ini? (c) Bagaimana perasaan Mu dan sikapMU Tuhan ketika melihat video seorang kawan sekerja kami Pdt. Gire dari Gereja GIDI di Mulia saat kemaluannya dibakar oleh TNI di Mulia bulan Maret 2010 lalu? (d) Apakah, Engkau ya Allah Tuhan yang mengutus kami, Gereja Papua ke umat dengan sejarah tadi: senyum dan bertepuk tangan ketika ratusan dan ribuan warga/umat di tanah Papua di bunuh? Apakah TUhan senang ketika dan angkat jempol ketika Kesbang Papua menrekayasa pemilihan MRP? Atau saat perjuangan rakyat untuk SK MRP no 14 di tolak? Dll, dll

5.DI MANA KITA GEREJA PAPUA MENEMUKAN JAWABAN TERHADAP PERTANYAAN TADI?
Pertanyaannya ialah di mana kah, kita, Gereja Papua bisa menemukan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas (butir 3) yang amat penting untuk Gereja Papua supaya ia bisa menentukan sikap dan menemukan pijakannya? Dengan demikian ia tidak ragu bersikap terhadap penderitaan umat Tuhan di Tanah Papua yang sedang dipunahkan secara halus oleh Negara (butir 1 di atas)? Di mana kita, sebagai Gereja Papua bisa temukan arahan dan nasehat dari Tuhan? Sekali lagi, kembali ke basics. Kembali ke dasar. (a) Alkitab dan (b) sejarah Gereja. Kita tidak bisa lain. DI sana, kita sebagai Gereja bisa temukan diri kita dan jejak kaki TUhan kita yang bersama umat yang tersingkirkan BERSIKAP DAN BERKARYA.
5.1.ALKITAB: FIRAUN, HERODES DAN KAISAR DAMISIANUS
Dalam Alkitab kita temukan sekurang-kurangnya beberapa pengalaman dalam mana Tuhan Allah menentukam sikapnya terhadap rezim dan penguasa yang memposisikan kaum minoritas dan tidak berdaya sebagai “yang lain” yang harus diwaspadai, dijinakkan dan dimusnahkan. Tuhan di sana tidak netral. Kita bisa sebutkan pengalaman bangsa Israel di Mesir. Ratapan para mama, yang anak-anaknya dibunuh Herodes adalah pengalaman kedua. Dan ketiga kita bisa selidiki pengalaman Yohanes yang dibuang ke pulau Patmos.
5.1.1. Musa dan Bangsa Israel. Pengalaman pertama, bagaimana Allah menyatakan dirinya, bisa kita baca dalam Perjanjian Lama: terkait Firaun yang mencurigai bangsa Israel akan berkolaborasi (bekerja sama) dengan bangsa lain dan meruntuhkan kekuasaannya (Keluaran 1:10) sehingga ia (a) memperbudak bangsa Israel dengan mempekerjakan bangsa itu untuk membangun dua kota: Pitom dan Raamses (Kel 1:11), kebijakan yang pertama rupanya tidak berhasil. Sehingga Firaun bikin kebijakan lain. (b) Ia memerintahkan para perawat Puskesmas dan Rumah Sakit untuk membunuh anak-anak laki-laki bangsa Israel yang lahir (Kel 1:15-16). Tetapi ini juga gagal. Sehingga (c) ia membuat kebijakan yang ketiga. Ia memerintahkan agar: semua anak-anak laki orang Israel yang lahir dibuang ke sungai Nil (Kel 1:22). Bagaimana Allah bersikap? Tuhan terganggu. Tuhan bilang “Firaun ko sudah melewati batas.” Sehingga emansipasi bangsa-bangsa tertindas menjadi “proyek Tuhan” dari system dan regim yang mematikan.
5.1.2. Herodes dan Mama-mama yang MeRatap. Dalam Perjanjian Baru: Matius 2:16, kita berhadapan dengan Herodes, seorang penguasa lain yang berkebiasaan menghukum mati para pesaing politiknya: termasuk istri dan kedua anak laki-lakinya. Dengan latar belakang tsb, ia takut: kedudukannya dikudeta oleh Yesus Kristus. Kisahnya berawal dari pertanyaan 3 orang Majus: di manakah raja orang Yahudi yang baru lahir itu? Mendengar pertanyaan itu Herodes, penguasa itu gusar. Herodes kemudian meminta para orang majus itu untuk melaporkan kepadanya: siapa dan bagaimana si bayi yang baru lahir itu. Barangkali untuk menyusun strategi menghadapi Yesus Kristus yang dilihatnya sebagai pesaing politiknya. Tetapi karena orang Majus tadi tidak kembali, Herodes memerintahkan untuk membunuh semua anak dibawah umur 2 tahun sejak kunjungan 3 orang Majus itu. Banyak keluarga warga bangsa Israel yang meratap kehilangan anaknya. Bagaimana Tuhan bersikap terhadap kejahatan yang dilakukan Herodes. Tuhan berbicara menyelamatkan bayi Kristus dari ancaman dan mengungsikannya ke Mesir (Matius 12:13-18).
5.1.3. Santo Atau Rasul Yohanes dan Minoritas Kristen dalam Abad Pertama: Dibawah Genggaman Kaisar Damisianus
Seperti umat Israel, dan Gereja TUhan di Papua dewasa ini, Gereja Tuhan dalam kekaisaran Romawi dalam abad pertama menemukan dirinya dalam dunia yang tidak ramah terhadap kehadirannya. Teristimewa setelah Damisianus menjadi kaisar Romawi. Ia gelisah: kekaisarannya terpecah-peach, sehingga mendesak senat menyediakan dana untuk membangun kembali kepercayaan Romawi kuno yang meyakini kaisar sebagai keturunan /para dewa, dan atau diangkat oleh para dewa atau dewa itu sendiri. Ia bermaksud menjadi agama Romawi kuno sebagai agama /ideology pemersatu. Mengapa? Damisianus seperti Firaun dan Indonesia, dewasa ini, takut negaranya yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan yang amat luas itu pecah. Ia takut disintegrasi. Untuk mewujudkan rencana tsb Damisianus memerintahkan agar kuil agama kuno (Roma: Yupiter, Yuno dan Minerva) yang telah hancur dibangun kembali. Setelah itu Damisianus menjadikan keyakinan tadi sebagai agama/keyakinan Negara. Ia memerintahkan agar patung-patung dirinya dibangun di seluruh kota; dan setelah itu memerintahkan agar dirinya disembah sebagai Allah. Semua kelompok agama dan social diwajibkan untuk menyembah dia. Tidak ada yang terkecualikan. Santo Yohanes yang menulis buku Wahyu: buku terakhir Alkitab Perjanjian dan umat Tuhan yang menolak menyembah dia. Akibatnya mereka dianiaya dan dibunuh. Mula-mula Rasul Yohanes dibuang ke kota Roma. Di sana, menurut tradisi, ia dimasukkan ke dalam kuali minyak yang sedang mendidih. Tetapi ia selamat. Ia kemudian dibuang ke Pulau Patmos. Di sana ia menulis buku Wahyu tadi untuk menguatkan iman umatnya (Lihat lukisan Rasul Yohanes di pulau Patmos).
Ketika Firaun, atau Damisianus sebagai penguasa yang terjangkiti penyakit mempertahankan kekuasaannya at all cost, dan menggunakan kekuasaannya untuk menyingkirkan dan membunuh kaum tertentu yang diposisikan sebagai “yang lain” yang harus dicurigai, Tuhan terganggu. Dalam Perjanjian Baru, Tuhan mengidentikkan diriNya dengan orang-orang penjara, orang telanjang, dll. Sementara dalam kasus Rasul Yohanes, ia mengecam dan ia akhirnya dibuang ke Pulau Patmos sebagai konsekwensi dari imannya. Itu sikap dan pandangan TUhan terhadap kekerasan yang dirancang penguasa dan system yang menindas. Tuhan tidak diam. Ia bersikap. Dalam Alkitab kita temukan jejak kaki Tuhan. Allah Gereja kita telah menyelami sejarah penderitaan umatnya yang bisa kita, Gereja Papua jadikan sebagai panduan dan pijakan untuk menyikapi kekerasan Negara Republik ini yang berlapis di Tanah Papua.
5.2.BAGAIMANA SEJARAH GEREJA: MENGHADAPI FIRAUN-FIRAUN MODEREN
Sesuai kerangka tadi, kita lanjutkan pencarian kita menemukan pijakan untuk menghadapi kebijakan pemerintah Indonesia mengkondisikan orang asli Papua menuju pemusnahan. Apakah Gereja kita bisa belajar dari sejarah Gereja? Bagaimana Tuhan menyatakan diri dan pendapatnya dalam kondisi umat Tuhan menghadapi keadaan serupa dalam sejarah perjalanan umatNya pada masa lalu? Toh, Firaun dan kekerasan Negara yang sedang dihadapi bangsa Papua bukanlah hal baru. Bangsa-bangsa lain pada masa lalu pun telah mengalami perlakuan yang sama dari penguasa dan resim-resim yang bengis, Firaun-Firaun modern; di mana Gereja hadir dan berkarya di dalamnya. Kita mengambil beberapa pengalaman Gereja untuk menjadi pelajaran bagi kita.

5.2.1.Ditriech Bonhoffer dan Gereja Jerman di bawah Rezim Nazisme: Deklarasi Barmen, Mei 1934
Awal tahun 1930an, Hitler mulai bangkit pada saat Jerman sedang mengalami depresi. Jutaan massa yang terkena dampak depressi ini, mendukung partai Nasional (Nazi) dan kemudian menguasai parlemen dan pada gilirannya mengangkat Hitler sebagai Pemimpin bangsa itu. Setelah terpilih, ia mulai mengkambing-hitamkan orang Yahudi, penganut ideologi Marxis, kekuatan-kekuatan asing sebagai penyebab krisis Jerman. Dalam rangka pemulihan Jerman, ia melaksanakan dua program (a) memusnahkan bangsa Yahudi dan (b) menyatukan seluruh warga bangsa berbahasa Jerman yang tersebar di Eropa.
Kedua program tsb diberlakukan Hitler dengan dukungan dari berbagai unsur masyarakat Jerman yang dimobilisasi. Gereja tidak terkecuali. Hitler seperti resim Indonesia di Papua, menggunakan berbagai cara dan trik mengkondisikan Gereja-Gereja dan para akademisi (termasuk teolog) Jerman mendukung kebijakan anti Yahudi tsb. Secara khusus Gereja dan pemikir seperti Martin Heideger memberi dukungan teologis filosofis kepada Hitler. Gereja yang disebut terakhir ini memilih jalan salib. Sebagian Gereja mendukung Hitler dan membentuk Gereja Nasional. Tetapi sejumlah teolog seperti: Ditriech Bonhoeffer dan Gereja yang Mengaku: Confessing Church menolak ideology anti-Semit sementara Gereja Nasional mendukung Hitler. Teolog Ditriech Bonhoeffer yang melawan teologi Negara, digantung mati oleh regim itu pada tanggal 9 April 1945 (Lihat gambar di atas). Sementara Gereja yang Mengaku, menolak ideologi Nazi yang rasis dan terang-terangan anti Yahudi, setelah bertemu di kota Barmen antara tanggal 29 – 31 Mei 1934. Pada akhir pertemuan tsb tepatnya pada tanggal 31 Mei 1934 mengeluarkan Deklarasi teologi yang disusun Karl Barth di kota Barmen. Melalui dekrarasi itu Gereja yang Mengaku (a) menolak takluk di bawah kekuasaan pemerintah dan Negara yang lalim; (b) kecuali takluk di bawah Firman Allah dan Roh Kudus. “Kami menolak doktrin yang salah, seakan-akan Gereja dalam arogansi manusia bisa meletakkan Firman Tuhan dan pekerjaan Tuhan untuk melayani tujuan, kepentingan dan rencana manusia yang dibuat secara sewenang-wenang. Sebaliknya, Gereja seutuhnya milik Kristus, dan ia hidup dan mau hidup seutuhnya dari arah dan bimbingannya sambil menantikan kedatanganNya.
Gereja menolak penjinakkan pemberitaan Firman Tuhan dalam Gereja, demikian bunyi deklarasi itu. Selanjutnya, deklarasi itu menekankan Ketuhanan Yesus Kristus yang kokoh, oleh Yesus Kristus; dan dia, Gereja menyerahkan diri sepenuhnya secara tegas dan secara radikal kepada Alkitab sebagai FirmanNya yang penuh rahmat. Gereja-Gereja yang membuat pernyataan Barmen dikejar dan diteror tetapi Tuhan menyertai Gereja baik lembaga maupun umat dan para pengerjaNya dalam penderitaan. Gereja itu menjadi saksi sejarah: melawan Hitler: Firaun modern. Ia bisa menjadi pencerahan bagi Gereja kita di Papua. Itu jejak kaki Tuhan dalam Sejarah Gereja Eropa, bagi kita, Gereja Papua dewasa ini. Bagaimana pengalaman Sejarah Gereja di belahan dunia lain. Mari kita periksa jejak kaki Tuhan di America Selatan, Asia dan Afrika.
5.2.2. Pengalaman Sejarah Gereja Amerika Selatan: Konferensi Uskup d Medellin, September 1968
Semua studi tENtang rakyat Amerika Latin dalam tahun 1960an menyimpulkan bahwa rakyat di benua itu dililiti kemiskinan yang amat memprihatinkan yang merendahkan martabat manusia. Kondisi keterbelakangan Amerika Latin dewasa itu digambarkan sebagai “situasi yang tidak adil yang mempromosikan ketegangan yang mencegah perdamaian. Situasi yang tidak adil di situ menyuburkan ketegangan antar kelas, yang diakibatkan oleh internal colonialism: penjajahan internal, yang membuahkan keterpinggiran (marginality) banyak kelompok dan kesenjangan yang ektrim, yang pada giliranya menyebabkan frustrasi yang meningkat, secara khusus ketika harapan-harapan yang lahir itu secara sistimatis diblokir (dipalang) oleh segelintir pihak yang berkuasa. Penindasan oleh mereka yang berkuasa untuk menjaga ketertiban umum, tetapi melahirkan “benih pemberontakan dan perang yang terus-menerua dan yang tidak bisa dicegah”[2].
Menemukan dirinya dalam dunia seperti itu, Konperensi Para Uskup Amerika Latin (CELAM yang dibentuk tahun 1955) yang diadakan di kota Medellin bulan September tahun 1968 mengemukan refleksi nya yang difokuskan kepada: pada perdamaian dan kekerasan. Gereja menyatakan “perdamaian itu berhubungan dengan keadilan. Gereja yakin perdamaian bisa terwujud apabila terbangun sebuah system dan tatanan: “di mana dan laki-laki dan perempuan bisa mewujudkan impiannya sebagai manusia, dimana martabatnya diakui, aspirasi mereka yang mendasar dipenuhi, pintu untuk mengetahui kebenaran dibuka selebar-lebarnya, dan kebebasan pribadi dijamin. Dalam masyarakat itu pribadi-pribadi tidak menjadi obyek tetapi agen dari sejarahnya sendiri.
Berdasarkan pandangan seperti itu: Gereja menyetujui arah karyanya memilih opsi: keberpihakan kepada yang miskin dari yang termiskin. Gereja berkomit untuk mengajar kaum papa bagaimana membaca dan menggunakan Alkitab dalam rangka pembebasan dari kondisi kemiskinan yang telah lama meliliti umat. Gereja bertugas, demikian ditegaskan dalam KOnferensi itu, meyakinkan umat bahwa kemiskinan demikian bisa diatasi; dengan mengarahkan umat untuk melawan/menolak hegemoni/dominasi dan hierararki yang menindas umat sehingga tidak berdaya sama sekali. Gereja mengarahkan umat agar: menolak apa yang diberikan/ditawarkan, mereka harus menuntut lebih dari pada yang diberikan.
5.3.3, PENGALAMAN GEREJA ASIA: PERNYATAAN/DEKLARASI ORANG-ORANG KRISTEN KOREA, Mei 1973
BAGAIMANA pengalaman Sejarah Gereja Korea? Korea yang pada hari ini dianggap sebagai salah satu kekuatan ekonomi global pernah menjalani masa-masa kelam: sejak tahun 1961 – 1979. Masa itu dekade di mana Negara itu diperintah penguasa militer yang otoriter dan kejam Bagaimana itu terjadi? Tahun 1961, Jenderal Park Chung berkuasa di negara itu setelah ia mengkudeta pemimpin pendahulunya. Dalam masa pemerintahannya ia mencatat kemajuan yang luar bisa dalam bidang industry. Tetapi secepat itu jugalah langkah dia menjerumuskan sebagian warga Korea menuju jurang kemiskinan yang luar biasa. Seperti regim Firaun Indonesia di Papua, ia membungkam suara kaum miskin dan aktivis dengan moncong senjata.
Gereja Korea ditantang dan diutus Tuhan untuk pergi hidup dan berkarya dalam dunia itu. Banyak teolog dan Gereja dalam situasi sejarah seperti itu mempertahankan ajaran Gerejanya yang diterima dari Badan Penyiar injil berabad-abad sebelumnya; yang tidak ada hubungannya dengan penderitaan umat dan dosa lembaga Negara yang mengkondisikan umat untuk hidup terus dalam lautan kepapaan. Hanya berita tentang, Chun Tae Ill, seorang buruh miskin, yang juga warga Gereja yang membunuh diri dengan membakar diri (Lihat fotonya) pada tanggal 13 November 1970 yang bisa membangunkan Gereja itu. Pengorbanan Chun Tae Il dan pendeta lain yang ditahan oleh resim militer itulah yang membuat Gereja Korea bangkit dan bersikap. Apakah mau terus membisu terhadap dosa terlembaga yang menyengsarakan umat atau mau menyatakan keberpihakan kepada yang tak bersuara. Dalam bulan Mei 1973, Presiden Chung Park mengumumkan rencananya untuk memperpanjang masa jabatannya yang ketiga. Kejadian ini menjadi Kairos: momentum untuk Gereja dan umat Tuhan bangkit menolak dan mengeluarkan pernyataan teologisnya yang berbunyi sbb:

Kami orang Kristen di Korea ditantang untuk berbicara dan mengambil tindakan-tindakan atas dasar pertimbangan-pertimbangan berikut.

Kami ada dibawah perintah Allah agar kami setia terhadap FirmanNya dalam situasi sejarah yang konkrit. Ini bukan pengakuan dosa di hadapan Allah, tetapi kami diperintahkan Allah untuk berbicara kebenaran dan bertindak dalam situasi sekarang di Korea

Rakyat Korea sedang melihat kami orang-orang Kristen dan mendesak kami untuk bertindak dalam situasi kami yang berat ini. Bukan karena kami memenuhi criteria untuk mewakili mereka. Kami tidak memenuhi criteria untuk memenuhi harapan mereka. Tetapi kami diharapkan dan didorong untuk teruskan perjuangan ini bukan karena kami membayangkan diri-diri kami sebagai wakil mereka, tetapi karena kami didorong oleh penderitaan mereka yang berseru kepada Allah untuk membebaskam mereka dari hari hari jahat ini.

Dalam situasi sejarah yang berat ini kami sebagai suatu komunitas Kristen percaya

1.Bahwa kami diperintahkan oleh Allah untuk menjadi wakilnya di depan Allah, Hakim dan Tuhan dari Sejarah untuk berdoa agar rakyat yang miskin dan tertindas bisa dibebaskan.

2.Bahwa kami diperintahkan oleh Tuhan Yesus kita untuk hidup dan tinggal di tengah-tengah umat yang miskin, tertindas dan disingkirkan seperti yang dilakukan oleh Yesus di Yudea ; dan bahwa kami diminta untuk berdiri teguh dan berbicara kebenaran di depan kuasa-kuasa yang ada seperti yang dilakukannya di depan Ponsius Pilatus dari Kekaisaran Romawi.

3.Bahwa kami diperintahkan oleh Roh Kudus untuk berperan secara aktif dalam kuasa transformasinya dan gerakan untuk menciptakan suatu masyarakat baru dan sejarah pada saat yang sama perubahan watak kita dan itulah Roh dari kerajaan mesianis yang memerintahkan kami untuk berjuang bagi perubahan social politik di dunia ini.

Karena itu kami menyatakan keyakinan teologia kami terhadap hal berikut

Pemerintah dictator dewasa ini sedang menghancurkan Rakyat dengan mengandalkan kekuasaan dan ancaman. Komunitas sekarang sedang diubah menjadi rimba. Bahkan tidak ada yang di atas hukum kecuali Allah, kuasa dunia dipercayakan oleh Allah bagi untuk menyebar keadilan dan perdamaian dalam masyarakat. Apabila seseorang menempatkan di atas hokum dan menginjak madat ilahi untuk menyebar keadilan ia sedang memberontak terhadap Allah. Kita bisa menaklukkan masyarakat dengan pedang tetapi tidak bisa memerintah dengan pedang.
Panggilan Untuk Aksi dan Dukungan
1.Kepada rakyat Korea, menarik segala bentuk pengakuan terhadap hukum-hukum, penetapan-penetapan, kebijakan dan proses-proses politik dari dictator yang telah mulai diperkenalkan sejak tanggal 17 Oktober 1972. Bangun kembangkan berbagai bentuk solidaritas diantara masyarakat untuk membangun kembali demokrasi di Korea Selatan.
2.Bagi sesama orang Kristen di Korea. Sambil bersiap-siap untuk perjuangan di atas, kita orang-orang Kristen harus membarui Gereja-Gereja kita dengan memperdalam pemikiran iman /teologis kita, dengan menentukan sikap yang jelas dan solidaritas terhadap kaum tertindas dan papa; dengan memberitakan injil Kerajaan mesianis dan berdoa bagi bangsa kita dan kita harus bersedia untuk mati syahid apabila perlu sebagaimana yang dilakukan oleh Bapak-Bapak Gereja kita.
3.Bagi saudara-saudara Kristen di dunia, kami membutuhkan doa-doamu dan solidaritas dan kami minta menyatakan ikatan kebersamaan kita melalui aksi-aksi dorongan dan dukungan.
5.5.PARA TEOLOG DAN GEREJA AFRIKA SELATAN: DOKUMEN KAIROS, 8 SEPTEMBER 1985
Pada tAHUN 1948 pemerintahan minoritas kulit putih yang berkuasa memperkenalkan system apartheid dan membuat ratusan hokum untuk menciptakan suatu system dan mekanisme untuk mengendalikan rakyat berdasarkan pembagian penduduk yang dibagi ke dalam beberapa wilayah/distrik kelompok ras. Kulit hitam (15 juta lebih), putih 3 juta lebih lebih, Asia dan bangsa lain: asia dll (3 juta lebih). Sejak itu hanya orang kulit putih yang duduk di pemerintah pusat. Bangsa kulit hitam menjadi “yang lain yang berbahaya” yang harus dikendalikan, dicurigai dan diawasi oleh minoritas kulit putih. Bagaimana Gereja bersikap terhadap dunia dan penguasa apartheid yang mengendalikan, mengkondisikan kehancuran suatu bangsa melalui proses situ? Gereja Dutch Reformed Afrika Selatan yang terbius propaganda penguasa apartheid mendukung pemerintah apartheid. Para teolog dan Gereja yang disebutkan terakhir ini memandang Pemerintahan yang memberlakukan “apartheid” ini sebagai wakil Allah (Roma 13:1-7).
Tetapi sebagian teolog dan Gereja menolak dan mengecam pemerintah dengan systemnya yang rasis: yang jahat itu. Kelompok teolog dan Gereja ini mengeluarkan dokumen teologi: Kairos pada tanggal 8 September 1985.
PenetapanKeadaan Darurat” pada tanggal 21 Juli 1985 oleh pemerintah apartheid dijadikan Gereja dan para teolog tsb sebagai momentum untuk mengeluarkan Dokumen Kairos (atau disingkat KD) ini. Beberapa teolog yang memprakrasai KD masing-masing: Frank Chikane, seorang teolog dari Gereja Pentakosta, teolog Katolik Albert Nolan. Edisi keduanya diterbitkan tahun 1986, setelah dilengkapi sana sini.
Apa saja isinya? Mengecam Teologi Negara dan Mengusulkan Teologi Profetik.
(a)Apa watak teologi Negara? (a1) KD: dokumen Karios menolak pandangan bahwa pemerintah apartheid sebagai Wakil Allah (Roma 13:1-7) yang mendukung regim yang menindas. Pemahaman: Pemerintah apartheid sebagai wakil Allah, seakan-akan mengatakan manusia taat kepada pemerintah yang rasis dan menindas sebagai wakil Allah. Para teolog dan Gereja yang mendukung KD menyatakan: Tuhan tidak meminta umat untuk menaati pemerintah yang menindas. Ketaatan terhadap Pemerintah yang dituntut di sini, menurut para teolog Kairos: bukan terhadap pemerintah yang bengis dan membelakangi TUhan. Pemerintah yang menindas dan demonic tidak bisa ditaati. (a2) Ketaatan kepada pemerintah yang menindas dan menyangkal keberadaan suatu kelompok mayoritas juga berarti: ketaatan kepada hokum-hukum yang tidak adil dan menindas yang dibuat oleh penguasa yang apartheid/yang bengis tsb. (a3) ketaatan demikian juga berarti mendukung pemerintah yang tidak adil dan menggunakan kekerasan lewat aparatur Negara untuk memaksakan hokum-hukumnya yang tidak adil.

(b)Teologi Profetis?

Para teolog dan Gereja yang membuat KD mengusulkan: Teologi Profetis yang memuat pemahaman tentang (b1) pentingnya membaca tanda-tanda jaman dalam menggembalakan umat, dalam merumuskan isi dan cara pewartaan kabar gembira Yesus (Matius 16:3) (b2) Setelah membaca “tanda-tanda jaman” perlu mengadakan analisis sosial secara kritis sebagai cara Gereja memahami diri dan posisinya di dunia agar bisa mengambil posisi dan menjalankan tugasnya di dunia ini (b3)Pembebasan dan Pengharapan dalam Alkitab. Dalam konteks demikian Alkitab dipahami sebagai berita pengharapan bagi yang tertindas. Yahweh akan membebaskan umatnya (Maz 74, Kel 3 dan Maz 12). Dalam Alkitab Allah tampil sebagai pembebas. Tuhan Allah tidak netral di sana, Allah tidak mendamaikan Musa dan Firaun. Juga Jesus Kristus. Ia menantang yang kaya dan resim yang bengis untuk bertobat. Kami percaya Allah sedang bekerja di dunia kita merubah mereka yang tanpa pengharapan dan situasi yang jahat menjadi lebih baik sehingga Kerajaan Allah bisa datang dan kehendak Allah bisa datang di dunia seperti di surga.

© Dokumen KD juga memuat Tantangan dan panggilan untuk Aksi (c1) Gereja ditantang untuk menyeberang dan memberi penguatan kepada kaum hina dina yang selama ini memperjuangkan emansipasinya sendiri.(c2) Ini berarti, Gereja yang selama ini menjadi “ambulance” berubah menjadi Gereja yang secara aktif terlibat langsung dalam pergumulan kaum tertindas. (c3) Pewartaan Gereja yang transformatif: pertobatan harus dalam kerangka Kairos. (c4) Aksi Gereja dan kampanye harus dalam rangka konsultasi, kerja sama organisasi dan kelompok perjuangan di dalam Negara.
Itulah gambaran singkat KD yang dikeluarkan para teolog dan Gereja Afrika Selatan saat berhadapan dengan pemerintah yang menggunakan Negara dan sistemnya untuk menindas dan membunuh.
6.PERNYATAAN TEOLOGI GEREJA-GEREJA PAPUA
Memaknai perkembangan sejarah umat Papua yang penuh kekerasan tadi sebagai “Kairos” dengan berpijak kepada ajaran Alkitab dan berpedoman pada Sejarah perjalanan Gereja Tuhan kami menyatakan:.
(a) PEMERINTAH INDONESIA yang berkuasa di Papua sejak awal tahun 1960an GAGAL MEMERINTAH DAN MEMBANGUN ORANG ASLI PAPUA. Kami menyerukan, agar
Pemerintah menghentikan kebijakan-kebijakan penjajahan internal (internal colonialism), pembasmian etnis dan perbudakan terselubung (disguised slavery) terhadap orang asli Papua.
Sebagai solusinya kami serukan agar pemerintah membuka diri dan berdialog dengan rakyat orang Asli Papua dimediasi oleh pihak yang netral.
(b) Pernyataan ini dan pewartaan kami yang kadang kritis terhadap Firaun Indonesia sejak Papua diduduki awal tahun 196oan, baik di mimbar maupun di luar, baik langsung maupun tidak, menyangkut umat Tuhan yang sedang menghadapi krisis, adalah dalam kerangka melakukan pekerjaan pastoral kami dengan berpedoman kepada ajaran Firman Allah dan Sejarah Gereja yang telah kami sebutkan di atas.
(c)Sambil memohon ampun kepada Tuhan Allah Abraham, Allah Israel, Allah Sejarah Gereja, Allah Sejarah Gereja Papua, Allah leluhur kami bangsa Papua, atas dosa kami yang telah terbawa jauh dari pijakan Alkitab dan Sejarah Gereja, dan jatuh ke dalam kerangka dan pelukan pihak lain seperti: pemerintah Indonesia yang merancang disguised slavery (perbudakan terselubung) terhadap Papua, Badan Gereja asing, atau LSM asing /lembaga dari luar yang membawa benderanya, yang membuat kami melihat penderitaan umat kami dari kaca mereka. Kami ingin kembali ke habitatnya: Firman Tuhan dan jalan sejarah Gereja dan menerima panggilan dan tantangan dari Tuhan yang mengutus kami untuk berkarya mewartakan kabar gembira dan pengharapan dalam Kristus ditengah-tengah umat kami yang telah dan sedang menjalani penindasan.
(d) Dalam kerangka demikian, kami menolak pemahaman dan kerja Badan Gereja Barat maupun non Barat, dan agama apapun, dulu dan sekarang yang atas nama injil, Kekristenan atau kemanusiaan telah dan terus terlibat/bekerja sama dalam resim penindas yang membelokkan sejarah Papua. Kami memandang Gereja/Badan atau Lembaga agama dan non agama yang atas nama apapun yang telah dan sedang bekerja mendukung penguasa yang menyingkirkan dan memusnahkan Papua sebagai agen demonic yang menyebabkan umat Tuhan di tanah ini menjalani hari-hari jahat.
(f) Setelah mengamati sejarah bangsa Papua sejak tahun 1960an, kami nyatakan “perahu kehidupan bangsa kami, bangsa Papua yang terdiri dari ratusan suku-suku bangsa`sedang tenggelam”. Tenggelam bersama kebudayaan kami yang kaya dan beragam yang diwariskan leluhur bangsa kami. Lilin-lilin kehidupan yang Allah, sang pencipta telah letakkan di hati batin dan kebudayaan kami, lebih dari ratusan suku bangsa sedang dipadam. Semua ini terjadi di depan mata kami, di depan mata Tuhan. Ini dilakukan atas nama: pembangunan, atas nama integritas territorial Negara Indonesia.
(g) Kami mohon kekuatan dari Tuhan, maha penyayang untuk menghadapi Firaun yang sedang gencar menciptakan dan melaksanakan kebijakan kependudukan di Tanah Papua yang pada gilirannya memusnahkan Papua. Kami sudah belajar dari pengalaman masyarakat Kabupaten Kerom yang dalam tahun 1980an menjadi sasaran pengiriman transmigrasi. Kini, jumlah orang asli Papua di sana bisa dihitug dengan jari. Para pendatang telah menjadi mayoritas di sana. Kami yakin nasib yang sama akan menimpa masyarakat Merauke, yang sebentar lagi akan kebanjiran para buruh dari luar untuk Proyek MIFEE yang sedang dirancang Jakarta. Pembangunan di Papua kami melihatnya sebagai siasat halus mengkondisikan agar bangsa Papua yang di posisikan sebagai “yang lain” tadi tersingkir dan pada akhirnya punah.
(h)Kami juga menyatakan keprihatinan kami yang sedalam-dalamnya terhadap watak dan kinerja elit pemerintah (orang asli Papua) di Papua yang tidak berdaya merumuskan kebijakan pembangunan yang berpihak kepada orang asli Papua.
(i)Kepada umat kami menghimbau: kerjakanlah keselamatanmu sendiri. Buanglah keyakinan bahwa pihak lain akan datang menyelamatkan perahu Papua dari badai yang sedang dirancang kekuatan Negara dengan dukungan, Gereja/Agama dan masyarakat internasional.
PANGGILAN UNTUK AKSI SELANJUTNYA
(a)Kami mengundang tanggapan terhadap dokumen ini khususnya dari para teolog,petugas Gereja, dan siapa saja, sekarang dan selanjutnya dalam rangka memperluas, memperkaya dan memperdalam dokumen ini.
(b) Kami mengharapkan agar dokumen ini dijadikan sebagai bahan rujukan studi, diskusi dan pembinaan lanjutan di tingkat mana saja di lingkungan Gereja dan umat dalam rangka pendalaman terhadap dokumen ini, agar bisa menjadi pijakan Gereja Papua menghadapi hari-hati penuh kekerasan sekarang dan selanjutnya.
Semoga, Allah bangsa Israel, Allah Yakob, Allah Musa, Allah Sejarah Gereja Papua, Allah bangsa kita, bangsa Papua mengayomi dan mengawal jalan kita sekarang dan seterusnya.
Jayapura/Port Numbay 26 Januari 2011




[1] Lihat, “Kata Pengantar, Dr. Daniel Dhakidae (2001) buku: Akar Permasalahan dan Alternatif Proses Penyelesaian Konflik: Aceh Jakarta Papua. Japika: Yappika.
[2] Robert Mcafee Brown (1972), Theology in A New Key. Responding to Liberation Themes. Westminster: Philadelphia (hal. 53-54)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar