WVI (World Vision Internasional) di Papua:
Dari Proyek Kemanusiaan Melayani Menuju Proyek Politik NKRI Menggagahi Papua
Dari Proyek Kemanusiaan Melayani Menuju Proyek Politik NKRI Menggagahi Papua
(Pdt. Benny Giay, Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua)
Akhir-akhir ini, kita, sebagai warga Gereja dan masyarakat Papua, menemukan diri dalam posisi diserang terus-menerus dari segala arah. Kita menghadapi banyak tantangan dan kekerasan dalam segala bidang yang diprakarsai berbagai pihak dan kepentingan. Masing-masing menggunakan benderanya menggagahi kita, baik melalui kekerasan budaya (penyangkalan hak-hak akan identitas, hak hidup dan kebebasan) maupun kekerasan fisik. Sulit kita katakan bahwa kekerasan hanya dilakukan TNI POlri seperti yang terlihat dalam Video penyiksaan di PUncak Jaya (Maret 2010), atau pembunuhan mahasiswa Akper di ENarotali tangal 15 Oktober, atau penembakan anggota Petapa di Wamena (tanggal 4 Oktober) dan pembunuhan terhadap Pdt. Naftali Kwan, pendeta jemaat (Gereja Kristen Protestan Indonesia) dan Septinus Kwan (seorang petani berusia 30 tahun) dan Antonia Kwan di Manokwari 15 September 2010. Banyak pihak bermain membumi hanguskan Papua. Kita angkat di sini peran lembaga kemanusiaan dan keagamaan seperti: WVI (World Vision International atau Wahana Visi Indonesia) yang bekerja sama dengan pihak-pihak yang mengatas-namakan FKPPA menggunakan mandat, pendukung dan payungnya mendukung kerja TNI POLRI tadi, menyebar kekerasan di tanah ini.
1.Dari Proyek “Melayani” Kemanusiaan Mengangkat Papua Karena Kasih Kristus
Agustus lalu, dalam suasana perayaan HUT kemerdekaan RI 2010, kami, sejumlah pimpinan Gereja Papua diundang WVI menghadiri sebuah seminar di Depok. Saat pulang saya dihadiahi sebuah buku berjudul World Vision di Papua” 30 tahun melayanan Masyarakat. Buku tsb menggambarkan kegiatan pelayanan kemanusiaan WVI di Papua. Buku tsb yang dicetak lux terdiri dari 166 halaman adalah cetakan kedua. Edisi pertama diterbitkan tahun 2009.
Kapan WVI mulai berkiprah di Papua? Sejak tahun 1979. Dengan dukungan pemerintah dan lembaga lain WVI masuk ke desa-desa di pedalaman Papua untuk bergaul dan memfasilitasi masyarakat meningkatkan ketrampilan bertani, berkebun, beternak serta mendorong lahirnya nilai-nilai kedisplinan dan kerja dan pengorganisasian masyarakat dan kerja keras.
Sehingga, WVI sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan warga jemaat di Pegunungan Tengah dan Pantai Selatan Papua. Mereka yang sempat membaca buku Misi Gereja dan Budaya Kekerasan, dalam buku tsb saya menyinggung karya Pdt. Ruben Pigay (Lihat buku tadi halaman 97-100) yang bekerja dengan WVI, menyalurkan bantuan kemanusiaan di Balim Yalimo saat Pdt. Saud (mantan Ketua Sinode GKI di Tanah Papua) dan Ibu berkarya di antara suku bangsa Yali. Pak Ruben yang sekarang menjabat sebagai wakil Gembala di Jemaat Kingmi Eklesia Pos 7 Sentani, mengaku melewatkan 17 belas tahun dari hidupnya melayani masyarakat bersama World Vision.
Pak Ruben yang drop out dari Uncen pertengahan tahun 1960an ini ditugaskan di Paniai oleh WVI (World Vision International atau Wahana Visi Indonesia) selama 6 tahun (1979 -1985). Apa saja pekerjaan pak Ruben di sana? Proyek pengembangan masyarakat (seperti: kolam ikan, peternakan babi, ayam dan kelinci, usaha pekarangan terpadu, pembinaaan Kesehatan masyarakat, pembuatan jalan dan jembatan dan pengadaan air minum, di Kebo, Moanemani, dan Obano. Lalu 10 tahun berikutnya (1985 sampai tahun 1996) WVI mempercayakan pak Ruben yang pernah menjadi anggota DPRD Kab Nabire itu, untuk melayani masyarakat Pegunungan Tengah bagian Timur seperti: Puncak Jaya, Tolikara, Jayawijaya dan Yahukimo dan Pegunungan Bintang. Sehingga pak Ruben pindah ke Pos 7 Sentani. Dari sana Ia pergi menangani proyek jembatan gantung, pengadaan air minum dll (seperti yang dilakukan di Paniai). Di Sentani, WVI juga membangun pusat latihan. Para mahasiswa Sekolah Teologi diberi pelatihan di sana. Semua program kemanusiaan tadi dilakukan karena kasih Kristus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pertanyaan lainnya ialah: dari mana WVI mendapat dana untuk pelayanan kemanusiaan yang disemangati Kristus ini? Donor dari masyarakat internasional dan dalam negeri. Dalam buku tadi, para penulis menunjukkan bahwa proyek-proyek kemanusiaan WVI yang dilaksanakan di Karubaga (Tolikara), Kurulu (Jayawijaya), Kurima (Yahukimo) dan Boven Digul, Jayapura didanai oleh donor luar negeri. Sementara proyek-proyeknya di Pantai Kasuari, Maro, dll dibiayai donor dari dalam negeri.
Perjalanan pelayanan WVI 30 tahun di Papua Barat patut disyukuri dengan segala kerendahan hati, kata pak Trihadi Saptoadi, Direktur Nasional World Vision Indonesia, dalam Kata Pengantar buku itu. “Karena banyak anak dan masyarakat Papua yang didampingi WVI lewat proyek kemanusiaan tadi, telah mampu menyongsong masa depan dengan lebih optimis dan percaya diri”. Tetapi benarkah WVI melayani tanpa mengharapkan imbalan? Di dunia ini tidak ada yang frei. No free lunch. Papua jangan keenakan, itu barangkali jawaban pihak WVI belakangan ini.
2. Menuju Proyek Politik NKRI Menggagahi Papua: Menghalangi Tuntutan Dialog dari Rakyat Papua Dengan Mempromosikan Forum Komunikasi Konstruktif Papua
Kita, sebagai warga Papua tidak boleh terbuai para pihak, siapapun dia yang datang ke Papua menawarkan “jalan keselamatan”, atas nama apapun. Karena seperti kata peri bahasa tadi: There is no free lunch. Tidak ada makan siang frei. Papua harus bayar harganya, walaupun penyelamat yang datang itu menggunakan bendera kemanusiaan dilandasi kasih Kristus dan ayat Alkitab, seperti halnya WVI. Semua harus kita bayar dengan harga yang mahal. Dalam kasus WVI di Papua, itu benar karena belakangan ini WVI aktif mensponsori Seminar yang disinggung di atas pada awal tulisan ini. Ia, WVI bekerja bersama dengan Tony para pihak yang memanfaatkan FKPPA (Forum Komunikasi Pimpinan Agama) untuk menggagahi Papua dengan mendukung kebijakan SBY mempromosikan Forum KOmunikasi Konstruktif Papua, sekaligus mematahkan perjuangan Pater Dr. Neles, dan Jaringan Damai Papua yang berjuang supaya Jakarta bisa membuka diri dan berdialog dengan Papua. Bagaimana caranya? WVI sejak tanggal 17 Agustus 2010 menggelar dan mensponsori sebuah seminar MTC di Depok, Jakarta, yang dihadiri petinggi Negara dari Depdagri, Menkopolhukam, Komnas HAM, BIN. Bapenas dan Sekretariat Kepresidenan: Desk Papua. Para Pimpinan Gereja Papua diundang ikut hadir antara lain: saya sebagai Ketua Sinode Kingmi, dan Pak Lipiyus BIniluk, Ketua SInode GIDI. Sementara Ketua SInode GKI, Baptis dan Pater Neles Tebay tidak hadir. Para akademisi yang mengambil peran dalam mengendalikan seminar ini masing-masing Prof. Tomagola dari Universitas Indonesia dan pak Dr. La Pona dari Uncen. Pada akhir kegiatan ini, Seminar merekomendasikan pembentukan wadah Forum KOmunikasi Konstruktif Papua, walaupun kita berusaha agar seminar mendukung inisiatif dari masyarakat akar rumput, grassroot: Jaringan Damai Papua yang sedang memperjuangkan Dialog Jakarta Papua dibawah komando Pater Dr. Neles. Proposal Papua untuk berdialog dengan Jakarta: ditelan Goliat, kekuatan besar di balik WVI. Begitu rekomendasi disetujui WVI menyanggupi untuk menindak-lanjutinya di Papua bekerja sama dengan FKPPA yang diwakili Tony Wanggai yang dalam workshop tersebut disebut-sebut sebagai Sekretaris FKPPA. Kita, umat Tuhan di Tanah Papua menyaksikan WVI yang dinamis, yang bergerak dari lembaga yang menangani proyek “melayani” Papua atas dasar kasih Kristus menuju proyek “menggagahi” Papua dalam rangka bekerja sama dengan NKRI yang didukung masyarakat internasional dibawah komando Polisi dunia: Amerika Serikat.
3.Seminar Depok Dari 17 Sampai 21 Agustus 2010
Secara garis besar seminar di Depok tanggal 17 – 21 dihadiri dan dikendalikan orang-orang pintar yang menurut saya pertama-tama menginventarisasi masalah-masalah yang berpotensi memicu kondisi turbulensi, kemudian menganalisa topic Gejala-Gejala Ketidakstabilan Papua (a) dalam berbagai aspek (dari aspek pelanggaran HAM, rendahnya pelayanan social, KKN, kesenjangan ekonomi, eksploitasi oleh pengusaha, perubahan komposisi penduduk, banyak kelompok yang mempersoalkan status politik Papua, gangguan keamanan, minimnya infrastruktur) (b) kemudian menyoroti penyebab langsung dari semua gejala tadi, (c) daerah atau wilayah yang menunjukkan gejala tadi; (d) analisa tentang kecenderungan.
Kedua, Analisa Para Aktor dan Relasi Antar Para Aktor tsb: (a) dengan memetakan para actor: OPM, TNI POLRI, Masyarakat Sipil, Pemerintah Pusat, Masyarakat Internasional, masyarakat pendatang, pengusaha, Ormas, Pengusaha, Pemda Prov Papua, (b) membedah hubungan antar para actor, agenda-agenda/hal yang menggerakkan para aktor, siasat perjuangan masing-masing aktor tadi.
Ketiga, Analisa Ekonomi Politik, (a) yang memetakan aspek-aspek sumber daya alam seperti
Sumber daya (lahan, laut, gas alam, minyak , tembaga, wisata, budaya, emas, kayu hutan, dana, skill, (b) membeda para pihak yang diuntungkan dan dampaknya.
Proses analisa dan pemetaaan social ini menyimpulkan bahwa situasi turbulensi (kekacauan bisa terjadi. Sehingga untuk mencegah situasi tersebut perlu dibentuk sebuah Wadah yang katanya akan berperan seperti sentuhan bola billiard yang akan menyentuh yang lainnya. Sehingga pilihan jatuh kepada: Forum Komunikasi Konstruktif Papua, yang berpotensi menyentuh satu aspek dan akan berdampak terhadap aspek lainnya. Ketika meminta perhatian dan dukungan terhadap inisiatif Jaringan Damai Papua yang memperjuangkan Dialog Jakarta yang telah didukung rakyat Papua, tidak ada yang memberi tanggapan.
Pertanyaannya: Apakah benar ide Forum Komunikasi Konstruktif Papua lahir dari sebuah proses diskusi ilmiah dan demokratis dalam workshop di Depok? Saya diberitahu teman bahwa, pada tanggal 16 Agustus SBY, dalam pidato kenegaraannya bahwa pemerintah akan membentuk sebuah Forum Komunikasi Konstruktif Papua. Kemudian saat mengikuti seminar di Depok, saya diberitahukan bahwa gagasan Komunikasi Konstruktif Papua dimuat di koran pada Hari Senin tanggal 23 Agustus 2010. Saya tidak sempat cek sehingga tidak jelas bagi saya apakah ini benar? Kalau benar bahwa gagasan Forum telah dicetuskan sebelumnya berarti workshop yang disponsori WVI ini hanya dalam rangka mencari legitimasi/ilmiah untuk mendukung kebijakan Jakarta yang menutup diri terhadap tuntutan dialog dari rakyat Papua.
Paskah Seminar dan Pembentukan Forum Komunikasi Konstruktif Papua
Banyak hal yang dilakukan WVI Paska Seminar Depok itu. Pertama, seorang petinggi WVI Papua, mulai meng sms ke hp saya secara teratur, ayat-ayat Alkitab setiap hari Minggu. Ayat-ayat Firman Tuhan itu amat indah. Tetapi saya tidak membaca dan tidak membalas ayat-ayat sms itu, karena Iblis, sang pendusta dari awal sampai akhir amat pintar Firman Tuhan dan sering menggunakan ayat Alkitab tsb untuk menyesatkan umatnya dengan bersembunyi di balik ayat Alkitab (Matius 4:1-11). Kedua, awal September 2010 seorang wartawan menelpon saya menyampaikan pihak Depdagri yang mengadakan pertemuan membahas dan mengevaluasi seminar yang disponsori WVI itu, sekaligus menyusun siasat bagaimana menindak-lanjuti rekomendasi seminar tadi di Papua. Ketiga, WVI bersedia mensponsori Tony Wainggai yang disebut-sebut sebagai Sekretaris KPPA untuk menindak-lanjuti rekomendasi workshop Depok di hotel Aston pada tanggal 21 September 2010; untuk selanjutnya mensosilisasikan rekomendasi workshop di kalangan agama dan media masa dengan sasaran membabat proyek Dialog yang diusung rakyat Papua tadi. Mengapa tanggal ini? Saat menyetujui Forum tadi, para peserta workshop di Depok memilih tanggal ini karena bertepatan dengan Hari PErdamaian.
Pertemuan di Hotel Aston, 21 September 2010
Setelah seminar menyepakati /membentuk Forum Komunikasi Konstruktif Papua, Tony Wanggai yang hadir dalam workshop Depok yang disebut-sebut mewakili FKPPA ditunjuk untuk menindak-lanjuti rekomendasi kegiatan workshop tsb, disponsori WVI. Tujuannya untuk menyebar-luaskan info tentang Komunikasi Konstruktif Papua tadi di kalangan masyarakat di Papua dengan menggelar pertemuan di Hotel Aston pada tanggal 21 September. Kegiatan di Hotel Aston tsb diawali dengan penyajian terkait proses pembentukan Forum Komunikasi Konstruktif Papua oleh seorang petinggi Papua WVI sebagai sponsor. Dilanjutkan dengan pemaparan oleh seorang penyaji lain (seorang perempuan) juga dari WVI. Ketiga dilanjutkan oleh Dr. La Pona menyangkut isi dari kegiatan seminar di Depok dan beberapa rekomendasi dalam rangka penyebar-luasan gagasan Forum Komunikasi Konstruktif Papua.
4.Bagaimana Kita Sebagai Umat dan Gereja Menghadapi Siasat WVI yang Menggagahi Papua?
Ada banyak cara kita menyikapi WVI dan Badan Agama dan Gereja yang terlibat dalam kebijakan Negara memobilisasi (menggunakan semua kekuatan dalam NKRI)?
Marah dan Emosional
Pertama, barangkali ada warga yang bimbang? Emosi dan marah? Marah dan emosioanal lalu melempar persoalan kepada pihak VWI dan antek-anteknya. Tetapi kita lihat ini mungkin salah satu cara. Tetapi siasat itu tidak bisa menyelesaikan masalah. Masih ada cara lain. Ada banyak jalan menuju ke Roma.
Mengikuti Jejak Gereja yang Berpihak Kepada Penguasa yang Haus Darah Dalam Sejarah Gereja
Kedua, kita masih bisa membaca Alkitab dan Sejarah Gereja dalam rangka mencari pijakan dan arah menyikapi keadaan ini. Pengalaman bangsa Israel dan umat Tuhan dalam sejarah Gereja bisa menjadi kekuatan, dasar dan landasan kita bertindak menyikapi keadaan seperti itu yang menimpa kita. Tindakan yang kita ambil berdasarkan pengalaman umat Tuhan pada masa lalu (baik Alkitab maupun Sejarah Gereja) bisa kita pertanggung-jawabkan (b1)karena itu sebagai tindakan pertama, mari kita membaca Firman Tuhan. Menurut Firman Tuhan Matius 16:1-4, tindakan WVI ini kita sebut tanda-tanda jaman. Waspada. Jagalah hatimu, batinmu, keluarga dan kampungmu? Karena Lis litem generat, perkara yang satu melahirkan perkara yang berikutnya. Dalam bahasa Kekristenan: kekerasan dan dosa (WVI) yang satu akan melahirkan kekerasan dan dosa yang lain di Papua. Sehingga waspada. (b2) Kedua, mari kita membaca sejarah Gereja. Karena dilihat dari sisi sejarah Gereja, apa yang sedang dilakukan oleh WVI di Papua Barat juga pernah dilakukan oleh Gereja orang kulit putih di Afrika Selatan yang mendukung apartheid sejak tahun 1940an hingga tahun 1960an. Sejumlah Gereja di Afrika Selatan pernah mendukung kebijakan apartheid. Gereja demikian dalam kerjanya mendukung kekerasan Negara dalam bentuk: rasisme, kapitalisme, dll dengan mencari pembenaran dari Alkitab dan Sejarah Gereja. Ini bisa kita baca dalam dokumen: World Council of Churches: Tantangan Bagi Gereja: Tanggapan Teologis Atas Krisis Politik di Afrika Selatan terbitan BPK (tahun 1989). Bagaimana pengalaman Gereja di Negara lain?
Sejarah Gereja Injili di Amerika Latin
Ketiga, setali tiga uang. Di Amerika Selatan, banyak badan penyiaran Injil khususnya dari kalangan Gereja “pertobatan” (yang sealiran dengan WVI) yang mengaku diri percaya dan bertobat kepada Tuhan dan menyebarkan injil kasih Kristus tetapi bersekongkol dengan penguasa Negara di sana yang haus darah dan menindas rakyatnya, sebagaimana yang digambarkan oleh David Stoll: Is Latin America Turning Protestants: The Politics of Evangelical Growth. Ketika WVI bergandengan dengan Negara menggagahi Papua ia sedang mengikuti jejak sejarah: yang dalam sejarah Gereja “pertobatan” di tempat lain yang selingkuh dengan Negara yang haus darah. Jadi mari kita waspada? Waspada terhadap semua pihak yang datang dalam nama Kristus sekalipun, teristmewa terhadap Badan Penyiar injil dan LSMnya yang daya analisa sosialnya amat rendah dan visi masa depannya sama dengan visi NKRI “yang tidak mengenal menyerah” memusnahkan keberagaman dan kaum minoritas.
WVI yang Tidak Mau Ketinggalan
c. Sekali lagi, bagaimana kita sebagai warga memandang agenda tersembunyi WVI yang berniat mengibarkan bendera kekerasan dan diskriminasi Firaun Jakarta di Papua? Jawaban terhadap pertanyaan ini harus kita berikan dalam terang sejarah kekerasan Negara yang di alami umat selama ini. Dalam terang sejarah penderitaan Papua, WVI, dengan menggelar seminar ini, ingin menyatakan peran sertanya. WVI tidak mau ketinggalan. WVI mau mengambil bagian mengeroyok Papua. Sekali lagi dalam terang sejarah kekerasan yang dilakukan TNI POLRI dan banyak pihak termasuk Gereja Indonesia yang berbasis di Jakarta (maupun Papua), dengan menggelar seminar itu, WVI menggunakan modal socialnya (kenyataan bahwa WVI sudah diterima rakyat Papua sebagai lembaga dari TUhan) untuk menyatakan dukungannya kepada pemerintah RI menggagahi Papua.
Madu di Tangan Kirimu Racun di Tangan Kananmu
(d) Menghadapi kerja WVI yang telah lama melayani kita, bangsa Papua, saya kira, sangat tepat dan pas kalau kita angkat lagu pop yang dipopulerkan Arie Wibowo dan djamal mirdad dalam tahun 1980an: “Madu di tangan kirimu, racun di tangan kananmu, aku tak tahu apa yang kau berikan padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar