Sabtu, 08 September 2012

Deklarasi Theologi Gereja-Gereja Papua


DEKLARASI TEOLOGIA GEREJA-GEREJA PAPUA

TENTANG GAGALNYA PEMERINTAH INDONESIA MEMERINTAH DAN MEMBANGUN ORANG ASLI PAPUA
“Perahu kehidupan kami sedang dipukul badai dan tenggelam”

Pada hari ini, Kamis, 26 Januari 2011, kami Pemimpin Gereja-Gereja di Tanah Papua bersama umat Kristen berkumpul untuk mendeklarasikan sikap dan posisi Gereja-Gereja berkenaan dengan perkembangan pemerintahan dan kebijakan pembangunan di Tanah Papua, sejak berintegrasi dalam Negara Indonesia, teramat khusus sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus di Tanah Papua.
Gereja-Gereja sangat prihatin dengan kondisi hidup umat Tuhan, teristimewa Orang Asli Papua pemilik negeri Tanah ini yang semakin tidak menentu di tengah berbagai kebijakan pembangunan yang dilakukan Pemerintah Indonesia di atas Tanah Papua. Pembangunan yang diadakan lebih berorientasi pada kemajuan fisik dan kepentingan Indonesia di Tanah Papua.

Pemberlakuan Otonomi Khusus Papua yang berlangsung ‘tidak konsisten dan konsekuen’ merupakan bukti kuat dari ketidaksungguhan Pemerintah Indonesia, sehingga rakyat Papua menilai OTSUS telah GAGAL. Maka, MRP sebagai lembaga amanat OTSUS yang pemilihannya terkesan dipaksakan dan tergesa-gesa saat ini dan sikap pemerintah yang tidak memperhatikan 11 rekomendasi hasil musyawarah MRP, kami nilai sebagai wujud penghinaan terhadap rakyat Papua, umat ciptaan Tuhan Allah yang hakiki. Gereja-Gereja juga mempertanyakan Surat Menteri Dalam Negeri No.188.341/110/SJ tentang Klarifikasi Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua tertanggal 13 Januari 2011 yang semakin meniadakan keberadaan Orang Asli Papua di atas tanah airnya sendiri.
Untuk itu, perkembangan di atas merupakan Kairos, suatu momentum bagi Gereja-Gereja untuk menyatakan pandangannya dalam bentuk Deklarasi Theologis di bawah ini.
Pertama, Gereja Gereja semakin diyakinkan bahwa proses-proses ini mengulangi bentuk yang sama dari proses integrasi Papua yang bermasalah secara hukum dan budaya. Proses pelaksanaan Pepera 1969, merupakan akar permasalahan hukum dan demokrasi bagi rakyat Papua. Sejak diintegrasikan Papua dalam Indonesia, Papua telah menjadi wilayah bermasalah dalam kekuasaan Pemerintahan Indonesia.
Kedua, Bangsa Papua telah menjalani suatu ‘sejarah sunyi’ yang mengarah kepada Genosida. Wacana Genosida telah lama disuarakan oleh berbagai pihak yang begitu prihatin dengan keberlangsungan hidup Bangsa Papua. Mungkin Genocida menurut rumusan PBB dan Indonesia atau negara bangsa lainnya tidak memenuhi rumusan-rumusan tersebut. Tetapi Genosida dari sudut pandang umat kami sebagai korban memang sedang terjadi melalui pengkondisian yang dilakukan oleh Jakarta berwujud ideologi dan kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada Orang Papua. Kebijakan transmigrasi maupun operasi militer yang tiada berujung, merupakan siasat pengkondisian agar lama-kelamaan Papua punah. Orang Papua telah diposisikan sebagai “yang lain” yang harus diawasi, dikendalikan dan dibina, bukan sebagai warga Negara Indonesia yang setara. Kalangan pengamat Jakarta menyebut perlakuan demikian sebagai penjajahan internal (internal colonialism) dan perbudakan terselubung terhadap Papua.
Ketiga, kami, Gereja Papua mengakui dosa kami karena telah lama membisu terhadap unsur-unsur demonic (jahat) dan destruktif dari pembangunan terhadap Orang Asli Papua yang menurut pengamat Jakarta adalah merupakan bentuk penjajahan internal dan perbudakan terselubung. Sehingga Gereja Papua telah keliru mengartikulasikan isi firman Tuhan, “pemerintah adalah wakil Allah di dunia yang harus dijunjung tinggi”, membuat gereja lumpuh dan tidak dapat memainkan peran kenabiannya.
Keempat, menjawab berbagai tantangan yang sedang dihadapi umat Tuhan di Tanah Papua, kami, Gereja-Gereja bertekad kembali ke akarnya, kembali ke habitatnya, yakni, Alkitab dan Sejarah Gereja. Kami bertekad melihat sejarah umat yang menderita sebagai tanda-tanda jaman (Matius 16:3b) dan tantangan teologis dan misiologis. Ini berarti Tuhan telah mengirim Gereja-Gereja di Papua ke tengah umat yang sedang menjalani sejarah kelam itu. Dengan demikian, Gereja-Gereja di Papua harus senantiasa bertanya dan berdialog dengan Tuhan, “apa yang Engkau pikir tentang perilaku penyelenggara negara ini yang melakukan perbudakan terselubung terhadap umat kami? Apakah Engkau setuju dan bertepuk tangan?”.
Kelima, konsekuensinya, sikap Gereja-Gereja di Papua selama ini dalam menyuarakan luka batin umat Tuhan di Tanah Papua adalah merupakan bagian integral dari panggilan sejati Gereja dalam mewartakan Firman Tuhan Allah yang mengutus kami. Alkitab dan Sejarah Gereja adalah pijakan kami dalam bertindak. Dalam misi ini, Gereja bertugas menggembalakan umat Allah, menjaga gambar dan rupa Allah agar tidak boleh diperlakukan dengan sewenang-wenang (Yoh. 10:11; 21:12, 16, 19). Sebagai gembala, kami patut mendengarkan suara domba-domba (jemaat) kami; dalam semangat inilah kami mengangkat suara kami karena “perahu kehidupan kami sedang tenggelam; lilin kehidupan umat kami sedang dipadamkan atas nama pembangunan, integritas territorial, demi keutuhan Negara”.
Keenam, terkait kebijakan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan terkini, dengan ini kami nyatakan: (a) bahwa Pemerintah Indonesia telah GAGAL membangun Orang Asli Papua bertolak dari Otonomi Khusus. Oleh karena itu, kami serukan agar pemerintah segera menghentikan seluruh proses pemilihan MRP jilid kedua yang sedang berlangsung dan menjawab 11 rekomendasi musyawarah MRP; (b) Sebagai solusinya, kami menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk membuka diri untuk berdialog dengan rakyat Asli Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral; (c) Kami juga prihatin dengan perilaku pejabat asli Papua yang tidak berpihak terhadap hak-hak rakyatnya sendiri.
Ketujuh, kami menghimbau umat Tuhan di Tanah Papua untuk bangkit, kerjakan keselamatanmu, nyatakan kebenaranmu di hadapan penguasa negara yang lalim, yang sedang melakukan penjajahan internal (internal colonialism), pembasmian etnis (genocida) dan perbudakan terselubung (disguised slavery) atas Bangsamu.
Kedelapan, kepada saudara-saudari umat Tuhan di Tanah Papua, di Indonesia dan di mana saja, berdoalah bagi kami dalam solidaritas, agar kami menjadi teguh di dalam menghadapi tantangan jaman Papua masa kini yang penuh dengan penderitaan dan air mata.
Demikianlah Deklarasi Kami.
Hormat kami,
Pemimpin-Pemimpin Gereja di Tanah Papua
Pdt. Drs. Elly D. Doirebo, M.Si
Wakil Ketua BP-AM Sinode GKI di Tanah Papua
Pdt. Dr. Benny Giay
Ketua Sinode KINGMI di Tanah Papua
Pdt. Socratez Sofyan Yoman, MA
Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja BAPTIS Papua



Agama dan Negara
Dosen: Pdt. Benny Giay
Jumlah SKS 2
Semester Agustus – Desember 2009

1.Agama & Negara:
Secara social: agama dan negara kedua-duanya adalah dua lembaga yang mengurus manusia (pribadi maupun kelompok). Perbedaannya agama: diturunkan dari atas dan pertanggung-jawabannya juga ke atas. Sementara lembaga Negara dibentuk oleh manusia secara khusus kelompok social tertentu yang mendiami wilayah tertentu yang memiliki kesamaan pengalaman sejarah membentuk sebuah lembaga untuk memperjuangkan kepentingan dan bersama; sehingga pertanggung-jawabannya juga kepada sesama.
2.Negara
Negara: entitas suatu keberadaan, suatu kenyataan yang bersifat politis dan yuridis yang terdiri dari suatu masyarakat manusia yang merupakan suatu golongan yang bebas dalam suatu daerah-bersama yang kompak (bersatu-pada) dan yang tunduk kepada penguasa tertinggi”
  • Ada suatu organisasi yang mempunyai kekuasaan dan wibawa untuk memelihara dan mempertahankan hokum undang2 dengan alat2 yang ada padanya.
  • Ada daerah yang bisa ditunjukkan; di mana kuasa dan wibawanya berlaku di daerah itu
  • & ada masyarakat yang tinggal di wilayah itu.
3. Negara: Bagaimana Terbentuknya
Manusia adalah mahkluk social; tidak bisa hidup sendiri, sehingga untuk mencegah tabrakan kepentingan, mengatur lalu lintas hubungan social dibentuklah lembaga / organisasi yang lebih tinggi: yang disebut negara.
4. Negara Perspektif Teologia/Alkitab: Kuasa Negara diberikan Allah
Bagaimana kedudukan negara dari sudut pandang Alkitab atau teologis? Ada beberapa ayat yang bisa menjadi rujukan kita untuk menjelaskan kedudukan negara dari sisi Alkitab.
  • Allah melihat negara dari sudut pandang Allah sebagai Pencipta. Negara dalam kerangka itu adalah lembaga yang ditetapkan Tuhan untuk memelihara dan melindungi. Pemerintah bisa menjadi sebagai “anugerah pencegah: gratia preveniens”. Pemerintah yang menjalankan tugas preventif: mencegah kekacauan dan kekalutan dan perbuatan jahat.
  • Mazmur 72, (Mazmur ini mungkin doa dari upacara pelantikan raja) Allah mengaruniakan kuasa dan wibawa; supaya ia bisa “memerintah umatnya dengan keadilan & dan memerintah yang tertindas dengan kebenaran (Maz. 72: 1;2).
  • Yoh 19:11a, kata Yesus kepada wakil kekaisaran Romawi: Engkau tidak mempunyai kuasa apapun, terhadap Aku jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, kekuasaan Negara sebagai sebuah lembaga diberikan oleh Tuhan.
  • “tidak ada pemerintah tidak yang berasal dari Allah” (Roma 13:2).
5. Firman Tuhan:Tujuan & Tugas Negara
Kita sudah tau bahwa kekuasan Negara/pemerintah diberikan oleh Tuhan. Tetapi kita bertanya: apa tugas yang diberikan Tuhan kepada Negara?
· Maz. 72 Tuhan mengaruniakan kuasa kepada raja supaya ia mengadili umatNya dalam kebenaran & orang-orang yang tertindas dalam hukum/kebenaran(2)
· Kiranya ia memberi keadilan kepada orang-orang yang tertindas dari bangsa itu, menolong orang-orang miskin, tetapi meremukkan pemeras. (ayat 4-5)
· Sebab ia akan melepaskan orang-orang miskin yang berteriak minta tolong, orang yang tertindas dan orang yang tidak punya penolong (12-14)
Dalam Roma 13:4 tugas pemerintah adalah: hamba Tuhan, pegawai Tuhan. Apa saja tugas hamba Tuhan/pegawai Tuhan? (a) Untuk mendatangkan kebajikan, untuk memberantas kejahatan, untuk menyampaikan murka Tuhan atas siapapun yang melakukan kejahatan” (Verkuijl 1982: 96). (b) untuk meneggakkan & mempertahankan keadilan dalam hubungan antara manusia dengan manusia, antar golongan dengan golongan, untuk memajukan keselarasan dan cinta kasih.
Kesimpulan: kekuasaan harus dipergunakan untuk menjamin keadilan. Kekuasaan yang diberikan Tuhan harus dipakai untuk membagi rasa keadilan dan cinta kasih. Kekuasaan haruslah bertindak terhadap ketidak-adilan ; harus memerangi kejahatan, harus melindungi yang lemah dan tanpa pelindung.
6. Pelayanan Negara: Dalam Realita
Dalam kenyatan di masyarakat tugas dan tujuan negara sebagaimana yang digambarkan di atas tidak terjadi.
  • Sebaliknya Negara, dalam catatan sejarah penuh dengan wajah kekerasan. Sehingga pemikir Jacob Burkhart: memandang pemerintah dan negara sebagai penjelmaan dari si jahat. (Verkuijl 1982: 75).
  • Pengamatan demikian mendoromg teolog Emil Brunner berkesimpulan: Negara adalah alat dan ciptaan Iblis.
  • Negara sering seperti : binatang yang muncul dari jurang maut (Wahyu 11:17)
7. Gereja Papua Dalam Realita: Korban Stigma Politik
Negara di Papua hadir dengan wajah kekerasan (yang terlihat melalui pembangunan bias pendatang dan operasi militer). Kekerasan ini melahirkan seorang bayi baru bernama: OPM. Menyikapi kelahiran “bayi OPM” yang dilahirkan politik stigma dan kekerasan dan diskriminasi sering ikut terkena “Politik stigma yang sama. Belakangan politik stigma ini mengkristal dan mulai menjadi “invisible hand untuk memecah belah Gereja Papua; seperti yang dialami Sinode GKI (korban politik stigma) dipecah bela demi kepentingan Negara. Pemerintah menjadi “invisible hand” untuk memecah bela Gereja.
  • Peran Badan PI & Gereja Papua: Integrasi Masyarakat Suku ke Masyarakat
Badan PI & Gereja memfasilitasi proses orang Papua menjadi penganut salah satu agama Dunia (umumnya Kristen) melalui kgiatan Penyebaran Injil.
  • Penengah/Mediator
Gereja menjadi penengah dalam konflik OPM TNI/POLRI. (a) Januari 1996 terkait
Penyanderaan Mapnduma: Uskup Munninghoff & Pdt. Yohanis Gobay diminta menjadi penengah; mendekati pihak OPM; (b) Penyanderaan 2 orang wartawan di Ilaga, Juni 2001, dll, dll
  • Penegak Keadilan & Kebenaran
Di lingkungan Gereja2 Papua : Kingmi, Katolik, dan GKI dibentuk Komisi/atau Biro Keadilan dan Perdamaian; dalam rangka peran profetis Gereja.
  • Pelajaran dari SEjarah Gereja:
(a) Jan Willem Kals, utusan injil Belanda ke Suriname; yang berkarya di tengah pengusaha & pedang Belanda memperbudak dan menindas orang Hitam (yang diangkut dari Afrika) & orang ASLI Amerindian
(b) Johan van der Kemp, 


Referensi/Buku-Buku
B. Giay (2000) Gereja & Politik di Papua Barat (materi Diskusi)
--------- (1996) Tokoh Gereja di Irian JayaDalm KOnflik Antara OPM dan Pemerintah. DEiyai No. 4/thn.I.Maret – april
--------- (2004) Pendeta & Caleg (Materi Pengantar Diskusi)
Daniel Dakhidae (2002), “Agama & Negara Tinjauan Teologi Poltik”, dalam Agama & Negara (Penyunting: A. Munir Mulkhan, dkk, Yogyakarta: Interfidei
Edy Purwanto (2002), “Agama , Poltik dan Negara: Perspektif Katolik”, dalam Agama & Negara (Penyunting: A. Munir Mulkhan, dkk, Yogyakarta: Interfidei
Verkuijl, J, (1982) Etika Kristen. Ras, Bangsa, Gereja dan Negara. Jakarta: BPK
Zakaria J. Ngelow (2002), Kemitraan Profetis Gereja Negara, dalam Agama & Negara (Penyunting: A. Munir Mulkhan, dkk, Yogyakarta: Interfidei

Tidak ada komentar:

Posting Komentar