Senin, 23 Juli 2012

Nasionalisme Papua dan Tuhan

Nasionalisme Papua dan Tuhan
Sebuah Refleksi Historis Teologis
Pdt. Benny Giay
Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua

“Pada tanggal 15 Juli 1862 tibalah kapal perampok di dekat Mansinam dan berlabuh di bagian belakang pulau dengan tujuan untuk merampok dan membunuh. Empat orang yang berada dekat tempat berlabuh kapal-kapal tsb dan yang sedang bekerja kebun pada waktu itu melarikan diri dari sergapan para perampok itu. Akan tetapi ada seorang tua yang mereka lihat bersama dengan anaknya yang sedang membela kayu di pantai yang kemudian menjadi incaran mereka. Mereka menghampiri orang tua itu dan memanahnya di tubuhnya. Karena orang tua itu berusaha melarikan diri, mereka memanah di punggungnya dan kemudian menangkap, mengikat dan bahkan menusuknya dengan pisau. Anaknya berhasil melarikan diri ke kampung, tetapi orang tua itu mereka bawa pergi. Begitulah mereka meninggalkan pulau Mansinam dengan membawa tawanan itu yang hendak dijadikan budak. Pada saat anaknya tiba di kampung, hal itu diketahui semua orang....[1]
***
Peri hal Pepera saya sendiri tidak tahu karena kami sebelumnya sudah dimasukkan dalam penjara. Pokoknya semua tokoh yang dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang pemerintahan atau masyarakat dimasukkan dalam penjara, di rumah-rumah tahanan polisi militer. Saya ditahan selama 3 bulan di rumah tahanan polisi militer
(CPM) di Kloofkam Jayapura, waktu itu Sukarnopura. Waktu saya keluar tahanan, teman studi saya sudah selesai pendidikannya. Saya juga lanjutkan studi dan menyelesaikan studi setelah mendapat amnesti.
Pada tahun 1975, saya kembali dari studi saya di Jawa. Pada tahun 1973 terjadi kekacauan besar di Wamena. Banyak orang dibunuh dan rumah-rumah gereja dibakar. Saya di suruh ke sana, tetapi saya tidak mau ... di sana terjadi pelanggaran terhadap hukum adat mereka, mengganggu istri-istri mereka dan anak-anak perempuan dari penduduk setempat. Tentara dan polisi yang bertugas di pos-pos di sana tidak mengenal susila...[2]
Kristiadi
Pejabat pemerintah Papua dalam tahun 1960an
1.Pendahuluan
Kisah perampokan, pembunuhan dan penangkapan warga Papua di Manokwari oleh para amberi untuk diperbudak dalam bulan Juli 1862 sebagaimana yang dikutip di atas dan kisah serupa lainnya tidak pernah kita pertimbangkan dalam menganalisa kekerasan di Tanah Papua yang tidak berakhir hingga dewasa ini. (a) Ini bisa terjadi karena beberapa pengalaman berikut. (a) kita dididik mengikuti pendidikan Sejarah yang dipromosikan oleh pemerintah Indonesia dan
(b) terkooptasi oleh gagasan pembangunan yang disebarkan penguasa; yang membuat kita terbuai atau termakan janji-janji politik pembangunan; ditambah dengan
(c) tidak tersedianya kepustakaan yang memberi perhatian terhadap sejarah interaksi Papua –amberi tahun-tahun sebelum 1960an. Akibatnya kita melihat kekerasan dalam konteks pembangunan yang dilakukan 40 atau 50 tahun terakhir ini secara sepotong-potong. Tidak utuh. Saya mengusulkan agar ke depan pemetaan soal kekerasan yang dialami bangsa Papua dewasa ini juga dilihat dalam konteks sejarah panjang interaksi antara Papua dan amberi sebelum Belanda menjadikan Papua sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya.
Oleh karena itu, kekerasan yang terus terjadi di tanah ini ingin kita soroti dalam terang pemahaman diri generasi Papua tahun 1960an yang pertama kali berhadapan dengan pemerintah Indonesia. Sehingga dalam menyoroti persoalan ini kita gunakan kerangka sejarah dan teologis/ Kitab Suci. Sudah jelas ini tidak obyektif karena memang berangkat dari dan menggunakan kaca mata rakyat Papua sebagai korban kekerasan yang terus berupaya menjadi subyek untuk merubah dunia sekitarnya.
Pemerintah ini bisa kita lihat sebagai ahli waris amberi yang sebelumnya telah merampok dan memperbudak Papua sebagaimana yang dijelaskan di atas. Generasi Papua tahun 1960an telah mewariskan “hermenutik curiga” terhadap Amberi, berdasarkan pengalaman penderitaan kolektifnya yang diwariskan generasi sebelumnya, yang dikutip di atas pada awal tulisan ini. “Apabila datang ke Papua, para amberi itu akan membawa watak memperbudak dan merampok itu”, katanya. Masuk akal apabila Generasi itu yang dibayang-bayangi kisah ingatan generasi sebelumnya itu menyebut Gereja Kristen Injil (GKI) yang dipimpin Pdt. Rumainum: sebagai Gereja Kristen Iskariot, saat ia memilih bergabung dengan DGI (Dewan Gereja Indonesia). Pendeta itu menghadapi badai kecaman dari generasi itu. Tetapi Pdt. Rumainum dengan tenang menghadapi mereka pada waktu itu dengan keyakinan bahwa (a) di dalam negara itu sudah ada banyak Gereja Kristen yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku, dll; Gereja-Gereja itu katanya, bisa berperan sebagai jembatan bagi umat Kristen di tanah Papua berproses menjadi bagian dari negara besar itu; hingga pada akhirnya mereka (umat Tuhan di tanah) akan duduk dan berdiri sejajar dengan suku-suku bangsa dalam sebuah negara Indonesia yang besar. Ia juga yakin bahwa aspirasi politik elit Papua pada waktu itu bisa disalurkan lewat Partai Kristen Indonesia (PARKINDO), yang cabangnya telah dibentuk di Papua. Singkatnya Pdt. Rumainum punya impian bahwa dalam bingkai NKRI Papua akan aman, Papua bisa mengembangkan dirinya; tanpa hambatan[3]. Tetapi hari ini (Desember 2011) impian itu sebuah ilusi seorang Pdt. Rumainum yang termakan pidato manis Soekarno pada waktu itu. Hari ini Papua sudah di jalan tol menuju kepunahan apabila tidak ada perubahan politik secara drastis. Sejak amberi menginjakkan kakinya di tanah ini pada awal tahun 1960an menjadi “situs kekerasan, situs ratapan dan duka”. Ia tidak bedanya tahun-tahun 1880an; saat Papua menjadi lahan perampokan dan kekerasan, seperti yang dikutip di atas. Hari ini kekerasan militer terus digelar di Paniai dan Puncak Jaya. Warga Papua disebut-sebut sebagai penghidap HIV paling tinggi. Pelayanan terhadap penderita HIV aids tersendat-sendat. Bahkan terkesan dibiarkan[4]. Pada saat yang sama transmigrasi dirancang dengan mengangkat Nere sebagai Duta Transmigrasi dengan mengangkat keberhasilan program transmigrasi tahun 1980an; ditambah lagi dengan membanjirnya migran spontan untuk mengisi kekurangan penduduk di Kabupaten yang terus dimekarkan. Singkatnya bangsa Papua sedang dipunahkan melalui creeping genocide. Kondisi ini yang diciptakan Jakarta terus menyuburkan “aspirasi Papua merdeka” yang kemudian dipakai lagi oleh jakarta untuk mengirim lebih banyak pasukan yang melahirkan kekerasantiada akhir itu.
Fokus dari pembicaraan kita tentang perlawanan yang dibahas di sini hanya yang berkaitan dengan kejadian yang mengantarkan kita pada pembicaraan tentang Tuhan. Dengan kata lain perlawanan Papua yang akan disingung di sini lebih pada peristiwa yang menyeret Gereja terlibat langsung di dalamnya; yang melahirkan refleksi teologis terhadap penderitaan Papua.
2.Perlawanan tahun 1980an
Pemerintah yang mengadakan operasi militer yang disertai pengiriman transmigrasi secara besar-besaran dalam dekade 1970an dan tahun 1980an, melahirkan kesadaran baru di kalangan masyarakat kota Jayapura untuk menyikapi dunia yang sedang dikondisikan Jakarta. Karena itu dekade 1970an sampai 1980an sering kita sebut sebagai “dekade kebangkitan Papua”, dekade di mana kaum terpelajar dan elit Papua di perkotaan mulai bangkit dan menggugat posisi yang diberikan Jakarta sebagai ‘sasaran (kekerasan) pembangunan”. Banyak siasat yang digunakan para elit dan intelektual. Kita sebut beberapa di antaranya.
(a) Pengungsian para mahasiswa dan dosen seperti Fred Atabu yang pada awal tahun 1980an ke PNG dan terus ke Negeri Belanda untuk menarik perhatian masyarakat internasional;
(b) 6 orang perempuan dipimpin Prisila Jakadewa, seorang aktivis OPM dan ibu rumah tangga mengibarkan bendera Bintang Kejora pada tanggal 4 Agustus 1980 di halaman Kantor Gubernur Dok 2 Jayapura
(c) Para mahasiswa mengibarkan bendera Bintang Kejora seperti yang dilakukan 10 orang mahasiswa pada tanggal 3 Juli 1982
(d) Dr. Thom Wainggai yang pada tanggal 14 Desember 1988 mengumpulkan para pendeta dan mengibarkan bendera bintang 14 dan memproklamirkan Melanesia Barat; yang kemudian dipenjarakan di Cipinang dan meninggal dalam bulan Maret 1996. Saat janazahnya di Jayapura masa yang marah membakar semua toko dan kantor di Abepura. Abepura menjadi kota mati selama beberapa hari.
(e) Pada waktu yang bersamaan (Maret 1996) terjadi demonstrasi masa yang berakhir dengan aksi pembakaran rumah, kios dan kantor di Timika yang membuat kota itu lumpuh selama beberapa hari.
(f) dua kejadian di atas diikuti aksi pengibaran bendera Bintang Kejora di Biak; akhir Juni sampai Juli 1998 yang bertahan selama beberapa minggu; yang disiasati ABRI secara repressif dengan menembak mati puluhan warga yang kemudian diangkut dengan kapal lalu dibuang ke laut; belakanan mayat-mayat tsb ditemukan di sepanjang pantai Biak.
(g) demontrasi masa yang dimotori yang menutup kantor DPR Provinsi Papua (Irian Jaya pada waktu itu) dan kemudian dilanjutkan dengan demo di kampus Uncen; yang disikapi ABRI dengan menembak mati: Stephen Suripaty Mahasiswa Uncen dan menembak seorang putri pelajar SMP (anak pak Pdt. Onim, dosen STT GKI yang sedang menonton aksi demo dari Kampus STT GKI I S Kijne Abepura) pada awal Juli 1998
(h) disusul dengan pembentukan FORERI (Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya) yang diprakarsai oleh LSM, 3 pimpinan Gereja (GKI, Keuskupan Jayapura dan Gereja Kingmi), Pemuda, Mahasiswa dan Perempuan dan Adat akhir Juli 1998; yang menuntut pemerintah berdialog dengan rakyat. Tuntutan ini kemudian disampaikan lewat TPF (Tim Pencari Fakta) yang dibentuk DPR RI menyikapi kekerasan dan dinamika di dalamnya. TPF tadi diketuai Abdul Gafur dan dibantu 3 orang anggota. Dua diantaranya: Jaap Salossa dan S.P. Morin. Rekomendasi TPF untuk dialog tsb diterima oleh Presiden RI yang kemudian bersedia berdialog dengan rakyat Papua.

2.Dialog Dengan Firaun Indonesia
Setelah menyatakan kesiapannya untuk berdialog dengan rakyat Papua, pemerintah mengundang wakil-wakil masyarakat sipil ke Jakarta pada akhir Oktober 1998.
  • Tim 23 Ke Jakarta Akihir Oktober 1998
Menanggapi keterbukan pemerintah tsb maka dalam pertengahan Oktober; kami (Gereja: GKI, Katolik dan Kingmi), LSM, Kalangan Adat, Perempuan dan Pelajar mahasiswa berkumpul dan merumuskan acuan Dialog dengan Jakarta. Sekitar tanggal 24 Oktober draft ini sudah selesai dan siap untuk di bawa ke Jakarta. Pdt. Herman Saud, Ketua Sinode GKI (Gereja Kristen Injili) di Tanah Papua pada waktu itu ditunjuk sebagai Pimpinan Tim berjumlah 23 orang untuk ke Jakarta membawa Tor tadi mewakili semua unsur tadi. Tetapi 8 jam sebelum berangkat, Pdt. Saud mengundurkan diri sehingga sekitar jam 6 pagi tanggal 26 September 1998, saya tiba-tiba dikagetkan pak Okto Mote yang datang mengajak (memaksa) saya untuk memimpin Tim Papua tadi. “Maaf, tadi malam saya kontak tetapi tidak bisa masuk, jaringan telpon sibuk; saya mau memberitahukan bahwa Kak Ben ditunjuk untuk pimpin rombongan dari Papua. Karena Pak Saud telah mengundurkan diri secara tiba-tiba”. Belakangan Pdt. Saud menerima tawaran berkeliling Papua dengan petinggi KODAM. Di bandara Sentani, kami bertemu dengan Tim dari pemeritah Pusat yang dikirim untuk menjemput Tim. Setibanya di bandara Sukarno Hatta kami diantar ke Hotel Sabang; di Jalan Sabang.
Sore itu kami sampaikan kepada komunitas Papua di Jakarta, tentang rencana kami. Selama 2 hari berikutnya kami membahasTOR dialog yang telah kami siapkan dengan petinggi pemerintah: Wakil Presiden dan dan Presiden.
  • Seorang Perempuan, Pegawai Hotel Mulia Senayan: Perlawanan Rakyat Papua Dikipasi oleh Kuasa-kuasa Setan
Sekitar tanggal 30 Oktober pertemuan membahas TOR ini diperluas dengan melibatkan DPR RI dan Mensesneg. Pertemuan awal untuk pembahasan TOR dengan DPR RI dan Menteri Sekretariat Negara ini dilakukan di Hotel Mulia Senayan, pada sore menjelang malam. Dari pihak pemerintah dihadiri Mensesneg: Akbar Tanjung, Staf Ahli Wapres dan Staf Ahli Kepresidenan; Gubernur Provinsi Papua, Pangdam, anggota DPR RI dari daerah pemilihan Papua, Ketua DPR Provinsi Papua dan Ketua Pengadilan Negeri. Semua anggota Tim 23 dari Papua dan sejumlah warga Papua diaspora di Jakarta. Termasuk di sana pak Herman Wayoi. Rapat dibuka oleh Asisten Mensesneg: Syafrudin Bahar, dan melaporkan pekerjaan kami beberapa hari sebelumnya membahas TOR (terms of reference) Dialog dan setelah itu dipimpin oleh pak Akbar Tanjung, sebagai Menteri Sekretariat Negara. Setelah menyampaikan sejumlah hal termasuk menaggapi draft dialog tadi; pak Akbar membuka ruang untuk tanya jawab.
Salah satu keputusan yang dihasil Pertemuan ini ialah: 7 orang dari Tim 23 tadi bisa tinggal untuk menyelesaikan draft akhir; yang lainnya bisa pulang keesokan harinya. Kami yang tinggal masing-masing: saya sendiri sebagai Ketua Tim, pak Menase Satya, Willy Mandowen sebagai Sekretaris; dan wakilnya: pak Okto Mote tadi. Tidak ada bendahara karena tidak ada uang. Dari DPR RI ditunjuk 2 orang masing-masing: S.P. Morin dan Jaap Salossa untuk bekerja sama dengan Asmen Sektretariat Negara dan Penasehat Presiden Habibie merumuskan TOR yang ke 4.
Selesai pertemaun ini, anggota Tim bersalaman dan meninggalkan ruangan. Saya, sebagai Ketua Tim dari Papua tinggal untuk memastikan jadwal pertemuan selanjutnya. Setelah itu, saat turun ke loby kami terheran-heran karena terjadi keributan di Loby Hotel mewah itu. Dalam perjalanan menuju ke Hotel di bus, anggota Tim menjelaskan duduk persoalannya”. Tim kami marah mendengar pesan seorang perempuan di lift Hotel tadi, yang saat melihat Tim kami dari Papua langsung mendekati mereka dan angkat bicara, “Saya bersyukur untuk kesempatan ini karena saya dapat kesempatan emasini untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada sdr-sdr seiman dari Papua. Begini, setelah melihat perlawanan rakyat Papua yang terus meningkat beberapa bulan terakhir ini. Saya sudah mengambil waktu berdoa dan berpuasa untuk mencari kehendak Allah bagi sdr-sdr di Papua. Jawaban Tuhan pasti. Dalam sebuah penglihatan Tuhan pada akhir doa puasa itu, Tuhan memberitahukan bahwa gerakan perlawnan sdr-sdr seiman di Tanah Papua pada prinsipnya melawan kehendak Tuhan. Sdr-sdr sedang berdosa terhadap Tuhan. Perlawanan itu dibisiki dan didorong Setan yang berniat menjerumuskan sdr-sdr ke dalam jurang kehancuran.
Semua anggota Tim marah mendengar pesan perempuan itu. Tetapi dari semua anggota, alm. Decky Iwangginlah yang duluan marah menghentikan perempuan itu, “perempuan kou stop, kalau tidak saya pukul ko jatuh di sini. Ko stop”. Diskusi berlanjut malam itu dalam Bus dalam perjalanan ke hotel dan diambung lahi di hotel: membahas pernyataan perempuan sesat itu. Sekurang-kurangnya ada beberapa kesimpulan.
Kesimpulan pertama, perempuan itu suanggi; kaki tangan Badan Rahasia Indonesia yang ditempatkan di Hotel mewah itu pada hari itu. Perempuan itu mewakili orang Kristen Indonesia lain yang selama ini berkeliaran di Tanah Papua menggunakan ayat-ayat Alkitab mengalihkan pikiran orang Papua untuk menjaga lestarinya kepentingan negara di Tanah Papua yang terus menghancurkan harkat dan martabat bangsa Papua.
Kedua, pandangan perempuan itu memang mewakili sikap dan pandangan Gereja Kristen atau umat Kristen di Indonesia yang sudah mapan, yang tidak (mau) mengerti kelompok minoritas atau masyarakat/etnis di luar dirinya. Paling tidak ia seorang warga jemaat Gereja di Indonesia yang sering membaca Alkitab secara sepotong-potong dengan konskwensi mendemonisasi (mengindentikkan gerakan perubahan yang diprakarsai bangsa Papua atau etnis lain sebagai pekerjaan Setan). Sudah tentu dengan tujuan untuk menjaga status quo.
Ketiga, perempuan itu menyampaikan suara pemerintah yang telah lama terinternalisasi dalam alam bawah sadarnya (tanpa ia sadari) sebagai hasil dari indoktrinasi ideologi yang dilakukan pemerintah yang militeristis dan feodal.
Tetapi pandangan perempuan ini mengundang kita untuk berefleksi. Bagaimana pandangan Tuhan terhadap gerakan reformasi dan perjuangan terhadap penjajahan dalam sejarah.
3.Nasionalisme Bangsa Indonesia dan Bangsa Lain: Dikipasi Para Tuyul dan Setan?
Tetapi bagaimana kita menghadapi “sorotan perempaun tadi di hotel terhadap perlawanan rakyat Papua”? Bagaimana pula kita sikapi pernyataan “pejabat yang terus menerus menuding Papua separatis? Salah satu pendekatakan yang lebih logis menyikapi “analisa pemerintah dan pernyataan perempuan tadi, ialah melihat perlawanan serupa dari sisi sejarah pengalaman bangsa lain pada masa lalu. Toh gerakan perlawanan terhadap penguasa atau penjajah yang dilakukan bangsa Papua dewasa ini bukanlah suatu hal baru. Bangsa lain telah menempuh jalan serupa dalam sejarah. Bangsa Papua dewasa ini hanya mengikuti jejak kaki bangsa-bangsa lain, termasuk bangsa Indonesia. Perjuangan rakyat Iran yang dipimpin Imam Ayatolah Khoemini melawan regim Shah Rezah dan perjuangan Rakyat Filipina menggulingkan Presdien Marcos. Atau perjuangan mayoritas rakyat Kulit Hitam melawan pemerintahan minoritas kulit putih yang memaksakan kebijakan dan paham apartheid. Demikian juga rakyat Indonesia sebelum tahun 1900an. Dengan kata lain generasi muda Papua yang terlibat aktif dalam perjuangan pembebasan dewasa ini sedang mengikuti jejak perlawanan, rakyat Afrika Selatan melawan pemerintah minoritas kulit putih dan sistem apartheit atau atau Soekarno dan Mohamat Hatta dll, terhadap Firaun Belanda.
Secara umum, perjuangan demikian dilandasi keyakinan bahwa: kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan (sesuai mukadimah UUD 1945). Menarik untuk kita pahami bahwa dalam buku-buku sejarah Indonesia di SMP dan SMA tahun 1970an, “penjajahan Belanda” selalu dikaitkan dengan pemaksaan kehendak Belanda atas Indonesia dan perampokan terhadap hasil bumi yang diangkut ke Belanda selama beberapa abad sambil meyingkirkan rakyat pribumi Jawa dan Sumatera; yang seirama dengan pemaksaan politik apartheit ke atas mayoritas rakyat Afrika dan senafas dengan pembangunan bias pendatang dilaksanakan pemerintah Indonesia yang dikawal oleh pendekatan militer yang represif.
Semua yang berpikir logis dan demokratis dewasa ini, tidak mungkim memvonis perjuangan yang dilakukan para kaum korban untuk meruntuhkan struktur dan ideologi yang tidak ramah terhadap kemanusiaan (baik Papua dewasa ini, Indonesia tahun 1900an, maupun Afrika Selatan dalam tahun 1950an) tidak mungkin menstigma “demonik (didorong oleh jin-jin dan tuyul) atau separatis”. Kita perlu menggunakan istilah-istilah dan pendekatan yang lebih konstruktif untuk membangun dialog yang setara ke depan.
4.Memaknai Nasionalisme Papua
Bagi Gereja Papua, apakah saran untuk membeca sejarah perlawanan rakyat Papua dewasa ini (lihat bagian pertama di atas) sejajar dengan sejarah perlawanan orang pribumi Jawa tahun 1900n atau perlawanan rakyat Afrika Selatan diterima atau tidak, bukan soal. Perlawanan rakyat Papua terhadap amberi (yang digambarkan dalam bagian kedua di atas) hanya kelanjutan dari perlawanan sebelumnya terhadap praktek perampokan dan pembunuhan dan penculikan dilakukan amberi di Papua sebagaimana yang dikutip pada bagian awal tulisan ini.
Watak merampok dan membunuh tsb juga terus diperagakan hingga hari ini, sejak tahun 1960an. Simak apa yang dilakukan para amberi pada saat menginjak kakinya di Papua awal tahun 1960an. (Lihat??????) Menemukan diri dalam dunia seperti itu kita tidak bisa lain dari memaknai dinamika ini dengan mencari pijakan historis dan teologis Tuhan menyikapi dunia seperti itu.
4.1. Perjuangan Melawan Kesewenang-wenangan Firaun-Firaun Modern: Pijakan Sejarah dan Teologis
Pertama, dilihat dari sejarah gagasan dan benih-benih pemikiran gerakan perlawanan (nasionalisme) selalu lahir dan bertumbuh subur dalam benak warga yang terus korban menghadapi sistem dan struktur kemasyarakatan dengan ideologi yang mendukung praktek-praktek kesewenang-wenangan: ikan besar makan ikan kecil; hegemoni kaum pemeras yang tidak adil yang perampasan hak kaum lemah dan tidak berdaya oleh penguasa dan kroni-kroninya. Simak perjuangan orang pribumi Jawa, Sumatera, atau Maluku. Jangan lupa perjuangan pembebasan bangsa kulit hitam Afrika Selatan yang dipimpin Nelson Mandela yang sudah disinggung diatas. Pertanyaannya: bagaimana kita menilai perlawanan kaum yang terpinggirkan seperti itu, baik Papua atau Jawa dan Sumatera 1930an atau perjuangan terhadap Firaun Moderen yang dilakukan Desmond Tutu dan Nelson Mandela melawan idelogi apartheid yang demonik dan destruktif itu?
6.Diatas Langit Masih Ada Langit, Pak Firaun: Tuhan Sebagai Penabur Benih Emansipasi (Keluaran 1:8-11; 3:7-9)
Kedua, dari sisi”pertimbangan yang mendasari perlawanan terhadap sistem dan ideologi yang mendukung praktek kesewenang-wenangan Firaun” (butir 4.1. di atas) kita bisa tahu “dimana posisi Tuhan” menghadapi regim-regim yang kejam itu. Alkitab menggambarkan “Tuhan yang terganggu mendengar ratapan kaum korban kesewenangan penguasa yang rasis (Keluaran 3:7-9) saat berhadapan dengan penguasa yang secara sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya. Menurut Keluaran 3 ayat 7-9 Tuhanlah yang gerah melihat kesewenang-wenangan Firaun yang menindas. Firaun lupa bahwa ‘di atas langit masih ada langit”. Simak kata Firman Tuhan, “Sekarang seruan orang Israel sampai kepadaKu; juga Kulihat betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka. Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umatKu, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya , Aku mengetahui penderitan mereka. Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik ...”(Keluaran 3:9, 7- 8). Tuhan lah yang pertama diganggu kekerasan Firaun “sehingga Ia (Tuhan) mengambil inisiatif dan mencari Musa. Musa yang dipilih Tuhan pada awalnya enggan dan tidak bersedia sehingga Tuhan “memaksa” Musa untuk pergi melaksanakan misi emansipasi. Proses perjuangan emansipasi tersebut dikawal Tuhan: dengan mengajak Musa yang menjadi juru bicara dan tanda heran yang menyertai Musa saat Firaun mengeraskan hati; sampai keluar dari Mesir dan menyeberang laut Kolsum dan dst. Dalam kata-kata pejabat pemerintah Indonesia dewasa ini, yang tidak mampu bercermin diri menghadapi menutup diri dari penderitaan rakyat Papua dan perlawanannya “Tuhan adalah aktor intelektual nasionalisme Papua”. Tetapi siapa sebenarnya yang menyeret Tuhan sehingga ia terganggu dan bagaimana? Para Firaun tidak mengerjakan PR (pekerjaan rumah)nya.
Pertanyaannya, bagaimana kita menentukan sikap terhadap anggapan teologis perempuan di hotel itu terhadap pergerakan di tanah Papua dalam terang sejarah itu. Bagaimana kita menilai tudingan “makar dan separatis” yang dilontarkan pemerintah Indonesia terhadap perlawanan rakyat Papua dalam terang sejarah dunia (termasuk sejarah Indonesia). Bagaimana menyikapi perlawanan mayoritas kulit hitam Afrika Selatan? Menganggap perlawanan Sokarno dan Moh Hatta sebagai”kaum separatis yang berjuang melawan Belanda lantaran dikipasi “jin-jin dan tuyul”? Saya kira tidak. Mereka nasionalis sejati hadir di sana dengan semangat untuk meruntuhkan tembok-tembok diskriminasi dan penjajahan. sionalis Indonesia dan melihat nasionalis Papua: apaapakah berpandangan stama dengan perempuan di hotel Mulia itu? Apakah nasionalis Indonesia sepaham dengan pemerintah Indonesia dewasa ini yang terus memvonis para pejuang pembebasan bangsa Papua sebagai “separatis” seperti selama ini? Apabila jawabannya: ya, maka dengan ukuran yang sama dengan jujur dan berani kita harus mengatakan bahwa perjuangan Soekarno dan Mohamat Hata lain disemangatipun oleh tuyul dan Iblis dan bahwa mereka adalah separatis (dari sudut pandang Firaun Belanda). Saya kira, para pejuang seperti Imam Ayatolah Khoemini atau pejuang kemerdekaan seperti Soekarno atau Nelson akan bersikap terhadap sama seperti anggota Tim 23 dari Papua tadi terhadap teori dari perempuan di hotel tadi. Kita mesti punya teori atau kerangka lain: kerangka historis dan humanis agar anaysis dan penilaian kita bisa dipertanggung-jawabkan sehingga kita bisa mengambil langkah-langkah yang lebih konstruktif dalam rangka dialog dan pemulihan menguntungkan kedua belah pihak: antara Papua dan Jakarta dengan tujuan menjaga keutuhan dan kemanusiaan.
4.3. Tuhan yang Menyebar Benih-Benih Perlawanan dan Emansipasi: Tetapi Mengapa dan Bagaimana?: Para Firaun yang Tidak Melakukan PR (Pekerjaan Rumahnya)
Mengapa Tuhan menjadi penyebar benih emansipasi
atau para regim terlebih dahulu.
Dilihat dari masalah “apa yang mendorong Gerakan perlawanan ini? Dan apa yang diperjuangkan?, dan apa yang ingin dicapai
Pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Dr. Hj. Susilo Bambang Yudoyono, pada 16 Agustus 2008, SBY menyatakan: “Kebijakan pemerintah yang bersifat persuasif, proaktif, dan berimbang, ternyata mampu meyakinkan berbagai pihak, bahwa kekerasan, bukanlah solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah”. Pidato kenegaraan SBY, 16 Agustus 2010 “Pemerintah dengan seksama terus mempelajari dinamika yang ada di Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang lebih baik”. Pidato kenegaraan SBY pada 16 Agustus 2011, SBY mengatakan: Menata Papua dengan hati, adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua”.




[1] Rainer Scheunemann (2004), Fajar Merekah di Tanah Papua Hidup dan Karya Rasul Papua: Johann Gottlob Geissler (1830 – 1870) dan Warisannya Masa Kini. Jayapura: Panitia Jubelium EMas 150 Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua, hal.53.
[2]Dorus Rumbiak, “Dua Kunci Memikat Orang Lani” dalam (Leontine E. Visser – Amapon Jos Marey (2008) Jakarta: Kompas, 139-140
[3] Sikap Pdt. Rumainum ini juga dipangaruhi oleh sikap politik Zending Belanda dan Prof. Verkuijl yang pada waktu itu sangat pro Belanda soal Papua. Lihat paper saya yang lain.
[4] Petugas Kesehatan di Paniai melaporkan kesulitan dan kebingungannya setiap bulan Desember akan kehadiran pihak-pihak tertentu yang menghilangkan Baliho “peringatan HIV Aids” selama beberapa tahun berturut-turut. Yang jelas kata petugas tsb, masyarakat tidak mungkin akan melakukan tindakan tsb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar